Thursday, August 30, 2012

OLEH OLEH JAKARTA


Siapa bilang sih oleh-oleh penganan Klappertaart harus diperoleh dari Manado? Memang penganan khas dari Sulawesi Utara ini terkenal. Tapi apa daya jika kita tak berkunjung ke wilayah Minahasa itu melainkan justru ke ibukota, Jakarta.

Bergembiralah, karena Jakarta adalah melting pot, tempat berkumpulnya sekaligus berbaurnya berbagai suku dari penjuru daerah di Nusantara. Tak usah heran jika Anda dapat menemukan Klappertaart khas Sulawesi Utara di sini. 

Kami, Klappertaart Online, menyediakan Klappertaart 16 cup dalam 1 box seharga Rp200K alias dua ratus ribu rupiah. Yang siap diantarkan ke bandara kapan saja, kecuali selasa dan kamis hanya sampai pukul 12 siang. Pesanlah jauh-jauh hari untuk menyesuaikan dengan jadwal pengiriman kami ke Bandara Soekarno Hatta. Hubungi 089637070353. Pembayaran dilakukan melalui transfers rekening BCA atau Mandiri. 


Saturday, August 25, 2012

S U P R I H

Cerpen saya ini pernah dimuat di majalah Femina November 2006.


Setengah jam berlalu sejak azan maghrib. Di dalam salah satu pondokan di Ledok Ratmakan, Mbok Sanem sedang melahap makan malamnya. Di ruangan seluas dua kali empat meter persegi itu Mbok Sanem tinggal bersama Mbah Menir, ibunya dan Suprih, anaknya, serta tiga teman sekampung. Sesama perempuan buruh gendong di Pasar Beringharjo. Mbah Menir sedang memijat Suprih yang kelelahan setelah seharian menggendong barang jualan seberat 80 kg naik turun tiga lantai. Sementara yang lain sedang tidur-tiduran di atas papan berlapis tikar.
Ini hari pertama Suprih bekerja sebagai buruh gendong. Sejak kecil Suprih sudah dibawa Mbok Sanem ke pasar. Mbok Sanem mengempitnya, mengeloninya. Mbok Sanem juga yang memberikan tenggok dan selendang serta mengajarinya bekerja. Menjadi buruh gendong di Pasar Beringharjo adalah pekerjaan turun temurun. Bagi buruh gendong seperti mereka, kehidupan adalah apa yang dijalani setiap hari. Harapan hanya setinggi bisa makan tiga kali setiap hari, bisa bayar uang WC dan pondokan. Tak peduli beban gendongan 80 kg telah membuat tulang belakang ngilu. Beban gendongan yang harus dipikul naik turun tiga lantai dari pasar ke tempat parkir adalah metafora kenyataan betapa berat hidup buruh gendong perempuan.
 Wong bisanya cuma nggendong thok, ya seberat apapun harus dijalani, Nduk. “ ujar Mbok Sanem menyemangati Suprih.
 Nggendong itu nggak perlu ijazah. Dapat uangnya biar sedikit tapi cepat dan halal. Yang penting badan sehat, kuat, dan nggak malu. “
Masa depan bagi seorang Suprih hanyalah menjadi buruh gendong. Mbah Menir yang sudah berumur sekitar 65-an pun masih terus bekerja. Sebagian besar hasil menggendong habis untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Mbok Sanem kadang bisa menyimpan sedikit uang lebih. Tetapi itupun jarang sekali diperolehnya. Hanya saja Mbok Sanem punya keyakinan sendiri. “ Setiap orang punya rezekinya sendiri-sendiri,“ kata Mbok Sanem kepada Suprih. Dulu Mbok Sanem pernah mencoba berdagang tapi malah terlilit hutang. “ Jadi buruh nggendong biar dapat sedikit tapi rasanya lebih tenteram di hati. Nggak usah ngoyo. Mungkin nasib kita memang cuma sampai di sini. “
* * *
Suatu siang Suprih yang sedang menggendong sekarung bawang, berpapasan dengan Lasmi. Lasmi teman sepermainannya dulu di kampung Wates, daerah Kulon Progo. Lasmi sedang pulang kampung setelah beberapa tahun bekerja di Jakarta. Ia menyempatkan berbelanja di Pasar Beringharjo untuk melepas kangen suasana pasar. Sifat Lasmi tetap tidak berubah, tetap ramah dan hangat seperti dulu. Ia yang menyapa Suprih dulu.
 Suprih!!,” teriak Lasmi melihat Suprih yang sedang menurunkan sekarung bawang dari gendongannya. Suprih pangling melihat cara dandan dan berpakaian Lasmi yang tampak lebih mewah di matanya. Lasmi memakai kaos dan celana jeans, sementara dirinya hanya mengenakan kain batik dan kebaya tua lungsuran Mbok Sanem.
 Kasihan kamu, Prih. Berat sekali gendonganmu. Apa Simbok dan Simbah masih nggendong juga?, “ tanya Lasmi.
 Ya Las, sudah turunan. Apalagi yang bisa dikerjakan selain nggendong. Nggak butuh ijazah tinggi. Yang penting sehat, kuat dan nggak malu. Yaa biar duitnya sedikit yang penting halal dan cepat dapatnya, “ jawab Suprih mengulang kata-kata Mbok Sanem.
 Kamu kok betah toh di sini? Duitnya kan nggak seberapa. Cepat habis lagi buat hidup sehari-hari. Apa kamu ndak kasihan sama Simbok dan Simbah yang masih mesti nggendong puluhan kilo di umur setua itu? Kamu ndak mau ikut aku ke Jakarta? Uangnya lebih banyak lho. Gampang lagi dapatnya. Seminggu kamu bisa mendapat ratusan ribu. Bisa kamu simpan dan kasih ke Simbok dan Simbah. Di sini paling kamu dapat berapa sih? Bukan mau ngenyek, tapi kamu tahu sendiri kerja seperti ini kan kamu ndak bisa pasang tarif seperti yang kamu mau. Di Jakarta bisa. Di sini dapat uang lebih itu kalau ada langganan yang bermurah hati saja. Di Jakarta asal kamu kasih
servis lebih, tipnya besar lho. “
Perkataan Lasmi jelas menggoda Suprih untuk mengambil keputusan pergi ke Jakarta. Suprih benar-benar terlena dengan penjelasan Lasmi. Suprih juga ingin membantu Simbok dan Simbah. Suprih tidak ingin uang banyak. Uang banyak belum tentu tenteram. Tapi Suprih juga ingin kaos dan celana jeans. Suprih ingin melihat Jakarta dan membuktikan di sana ia dapat dengan mudah mendapatkan uang banyak supaya Simbok dan Simbah bisa hidup tenang di kampung.
 Memang kamu kerja apa di Jakarta, Las?, “ tanya Suprih dengan polosnya.
 Eh, ehmm… jadi pelayan Prih. Enak kerjanya di tempat kayak restoran begitu. “
 Oohhhh… “
* * *
 Kamu yakin mau ke Jakarta, Nduk? “ tanya Mbok Sanem.
 Iya Mbok. Aku mau cari kerjaan yang lebih baik supaya SiMbok dan SiMbah nggak usah nggendong lagi. Bisa hidup lebih tenang di kampung, “
 Tapi Simbah dan Simbok sudah nrimo kok hidup seperti ini. Kamu ndak usah repot mikiran Simbok dan Simbah. Kalau hari ini cuma bisa makan nasi pakai daging syukur. Tapi kalau besok harus makan nasi sama tempe tok ya tetap bersyukur masih bisa makan. Kalau pun Simbok atau Simbah sakit masih ada Yu Yatin, Mbah Besur dan Yu Rubiyem yang mau mijetin dan membagi makanan, “ tambah Mbah Menir.
 Tapi kalau kamu sudah niat ya nggak apa-apa. Simbok dan Simbah rela kok. Yang penting kamu bisa jaga diri. Ingat lho Nduk. Hati-hati di Jakarta banyak orang jahat. Ini ada sedikit uang buat ongkos berangkat ke Jakarta. Kalau kurang kamu bisa jual kain batik lama punya Simbah. Lumayan kalau dijual bisa buat nambah ongkos.“
 Terima kasih, Mbok. Terima kasih ya, Mbah, “ jawab Suprih sambil meremas tangan Mbah Menir dengan erat.
* * *
Sebenarnya ada sedikit keraguan terbersit di hati Suprih untuk berangkat ke Jakarta. Restu Simbok dan Simbah justru mengurangi semangatnya. Ada perasaan tidak enak mengganjal di hatiya. Tetapi Suprih sudah mengambil keputusan dan sekarang sudah sampai di Jakarta bersama dengan Lasmi. Lasmi akan membawanya ke pondokan tempat Lasmi tinggal dan mengenalkannya kepada Mami pemilik pondokan itu.
 Prih, ini Mami yang akan menampung kamu kerja di sini. Mam, ini Suprih yang saya ceritakan itu, “ kata Lasmi menjelaskan kepada Mami.
 Wah cantik seperti putri Solo. Eh, tapi kamu bukan putri Solo ya tapi putri Yogya. Ya sudah Las, nanti malam kamu pinjamin dulu baju kamu. Sekarang si Suprih dipotong dulu saja rambutnya. Bikin model shaggy biar cantik seperti Alya Rohali. Sana ajak Suprih ke salonnya Andri. Oh ya minta Andri melulur Suprih sekalian biar wangi. Nanti malam ada tamu penting datang. Kamu juga kalau mau lulur boleh Las. Biar Mami yang bayar nanti. Suprih nanti malam kamu mulai kerja ya?! Biar bisa cepat kirim uang untuk Simbok dan Simbah kamu di Yogya. “
 Ya Bu, “ jawab Suprih sambil tersenyum. Suprih senang. Seumur-umur ia belum pernah masuk salon.
Sementara dilulur, Suprih merasa bersalah. Suprih teringat Mbah Menir yang suka memijat dirinya kalau ia tampak lelah. Suprih jarang memijat Mbah Menir yang justru lebih sering minta dipijat sama Mbah Besur. Sementara rambut Suprih dipotong, teringat ia saat Mbok Sanem mengurus rambutnya yang panjang mencapai pinggang. Biasanya Mbok Sanem yang mengoles rambutnya dengan kemiri atau santan. Rambutnya jarang dipotong. Cukup digelung saja. Ada rasa sedih karena kangen akan suasana di pondokan. Padahal ia belum lagi sehari menjejakkan kaki di Jakarta.
Tetapi bayangan penampilan baru Suprih yang tampak di cermin segera menghapus kesedihan itu diganti dengan seulas senyum di wajahnya. Terhapus sudah rasa kangen itu dengan rasa kagum akan kecantikan dirinya sendiri. Suprih tidak menyangka ia bisa secantik ini hanya dengan model potongan rambut yang baru. Padahal ia masih mengenakan blus dan rok tua yang diberikan anak perempuan pedagang besar tempat ia bekerja.
 Wah, kamu jadi tampak cantik sekali Prih! “ ujar Lasmi berseri-seri melihat hasil temuannya. Sudah terbayang di benak Lasmi bonus besar dari Mami karena berhasil membawa primadona baru dari kampung yang akan menambah pemasukan Mami. Suprih hanya tersenyum malu-malu. “ Mami pasti senang melihat penampilan kamu yang baru. Ayo kita pulang dan pilih baju yang akan kamu pakai nanti malam. Andri, terima kasih ya. Ongkosnya nanti minta sama Mami saja. “
 Oke deh kakak. Nanti akika minta sama Mami,” jawab Andri manja.
* * *
 Kamu pakai yang ini saja, Prih! “ kata Lasmi sambil menyodorkan sebuah gaun terusan hitam tanpa lengan. “ Sepatunya pakai yang hitam saja. Biar serasi.”
Suprih melepas kemeja dan roknya. Menggantinya dengan gaun hitam itu. Ada perasaan aneh terbersit di hatinya. Gaun ini sangat terbuka sampai bahu, punggung, lengan dan sebagian belahan dadanya terlihat. Ada rasa risih dan malu mengenakan gaun hitam itu. Dalam hati Suprih bertanya restoran seperti apakah yang pakaian pelayannya seperti ini?
 Sekarang kamu ke sini biar aku dandanin. “
Suprih berjalan kaku dalam sepatu dengan hak setinggi 9 cm. Suprih melihat bayangan dirinya sendiri yang bertambah tinggi di dalam cermin. Ada rasa bangga melihat dirinya terlihat seperti perempuan di dalam majalah di salon.
 Nanti nama kamu diganti dulu jadi Shanti. Biar keren seperti penyanyi Shanti. Ingat ya Shanti. Jadi jangan lupa pas dipanggil,“ ujar Lasmi sambil memoles wajah Suprih. “ Jangan lupa tersenyum. Kalau jalan yang anggun. Nanti aku tunjukkan sama kamu. Nah, beres sudah make up-nya. Nah, begini lho jalannya. “ Lasmi memperagakan cara berjalan yang anggun seperti kucing. “ Sekarang kamu coba! “
Suprih pun mencoba melangkahkan kaki seperti kucing dengan sepatu haknya yang tinggi itu. “ Masih agak kaku, tapi ya sudahlah. Nanti lama-lama kamu juga bakal terbiasa. Sekarang ayo kita berangkat. Mobil jemputan sudah menunggu. “
Mobil itu membawa Suprih, Lasmi dan teman-teman barunya ke kawasan Kota. Restoran itu remang-remang suasananya. Suprih disuruh menunggu bersama yang lain sambil memegang kartu dengan nomor 18 dalam sebuah ruangan dengan kaca. Di dalam ruangan itu Suprih bisa melihat di ruangan sebelah beberapa lelaki sedang melihat-lihat ke arah mereka. Seorang lelaki rapi berkulit putih agak gemuk melihat kepadanya terus.
 Shanti kamu ke sini! “ panggil Mami. Suprih berjalan ke ruangan sebelah tempat Mami dan lelaki itu berdiri. “ Shanti kamu temanin Bapak ini ya! Pak Tommy kenalkan ini Shanti. Shanti ini pak Tommy. Ayo salaman Shanti. Maaf Pak, Shanti masih baru di sini jadi masih malu-malu. Silahkan Pak, kamarnya nomor 501“
Lelaki itu menggenggam tangan Suprih dan menggandengnya menuju kamar bernomor 501. Ada tempat tidur di sana. Lelaki itu mengajak Suprih mengobrol. Tetapi pikiran Suprih melayang ke pasar Beringharjo. Bayangan Simbok dan Simbah menggendong karung seberat 50 kg berjalan menuruni tangga pasar. Ada rasa berontak di dalam hatinya saat lelaki itu mulai membuka pakaiannya.
Terngiang suara Simbok dan Simbah di benaknya, “ Tapi SiMbah dan SiMbok sudah nrimo kok hidup seperti ini. Kamu ndak usah repot mikiran Simbok dan Simbah. Kalau hari ini cuma bisa makan nasi pakai daging syukur. Tapi kalau besok harus makan nasi sama tempe tok ya tetap bersyukur masih bisa makan. Kalau pun Simbok atau Simbah sakit masih ada Yu Yatin, Mbah Besur dan Yu Rubiyem yang mau mijetin dan membagi makanan. Yang penting kamu bisa jaga diri. Ingat lho Nduk. Hati-hati di Jakarta banyak orang jahat. “
Air matanya mengalir saat lelaki itu mulai menggauli tubuh Suprih. Teringat kata-kata Lasmi. “ Apa kamu ndak kasihan sama Simbok dan Simbah yang masih mesti nggendong puluhan kilo di umur setua itu? Uangnya lebih banyak lho. Bisa kamu simpan dan kasih ke Simbok dan Simbah supaya mereka nggak harus nggendong terus. Seminggu kamu bisa mendapat ratusan ribu. Di Jakarta asal kamu kasih servis lebih, tipnya besar lho. “
Keringat lelaki itu bercampur dengan air mata Suprih. Suara Simbok kembali terngiang di kepala Suprih. “ Nggendong itu nggak perlu ijazah. Dapat uangnya biar sedikit tapi cepat dan halal.”
* * *
Sementara itu di pondokan Mbok Sanem di Ledok Ratmakan.
Praanggg……
Terdengar suara gelas pecah akibat Mbok Sanem menyenggolnya tanpa sengaja sampai jatuh. “ Aduh ada apa ya sama Suprih ya Mbah? Aku takut ini pertanda buruk. “
 Sudah kita berdoa saja supaya Suprih selamat. Dia kan berangkat dengan niat baik, “ harap Mbah Menir.

TAMAT

KEKASIH SETENGAH JAM


            RING!
            Aku terhenyak dari lamunanku. Kuraih ponsel tuaku dari atas meja tempat aku meletakkannya. Aku melepaskan sambungan kabel pengisi batere dari ponsel ini yang sudah sedikit melingkar tak keruan. Kutekan salah satu tombol untuk membuka kunci ponselku dan mulai mencari tahu siapa yang baru saja membunyikan bel.
            Indra Sandy
            Kuketikkan balasan di dalam kolom pesan.

Ada apa, Mas?
                                                                                                                        Date yuk?
Dimana? Kapan?
Sore ini, kamu ke tempat biasa aja.
Aku sampai di situ sekitar jam 5 sore setelah pulang meeting.
Oke, nanti aku ke sana.

            Aku segera bangkit dari tempat tidurku. Kulangkahkan kaki keluar menuju teras dan mengambil handuk dari tempat jemuran. Aku segera masuk ke kamar mandi dan mengguyurkan air dingin dari dalam bak dengan gayung. Rasanya begitu menyegarkan. Kululurkan pasta scrub ke seluruh tubuhku kemudian menggosokkan sampo ke seluruh bagian rambutku hingga berbusa. Beberapa menit kemudian aku membilas tubuhku dengan guyuran air dingin. Kucukur bulu di ketiakku, rambut-rambut tipis di dada hingga perut. Rambut kemaluanku yang tumbuh tak beraturan kucukur hingga tipis dan rapi. Tak lupa jambang, jenggot dan kumisku kucukur hingga mulus tak berbekas.
            Sore ini aku harus tampil prima untuk Mas Indra.
            Segera kukeringkan rambutku dengan handuk. Kutuangkan sedikit hair tonic ke tanganku, kemudian kuusapkan ke seluruh rambutku. Aku membasuh kedua tanganku dengan air kemudian mulai menuangkan after shave murah ke tangan dan mengusapkannya ke kedua permukaan bekas bercukur tadi. Tanganku meraih deodorant dari rak dan mulai mengosokkannya pada kedua ketiakku. Kemudian kuletakkan kembali ke atas rak dan meraih sebotol body lotion kelas minimarket. Aku menuangkan isinya kemudian mengoleskannya ke permukaan kulit tubuh juga kedua tangan dan kakiku. Rasanya begitu wangi menyegarkan. Tapi ini belum cukup untuk menemui seorang seperti Mas Indro.
            Kugunting seluruh kuku kaki dan tanganku agar terlihat lebih rapi. Kemudian kusemprotkan body spray ke seluruh tubuhku. Sedikit parfum dengan aroma senada kusemprotkan ke bagian rambut kemaluanku, pergelangan tangan juga sekitar samping leher.
            Kali ini baru aku merasa cukup dan percaya diri. Kuambil sehelai polo shirt berona biru kelabu dan celana jins yang masih terlipat rapi dari ambalan di dalam lemari. Kurapikan penampilanku. Tak ada gunanya mengenakan pakaian dalam di balik jins ini. Aku selalu merasa seperti lagu Mulan, bagai mahluk Tuhan yang paling seksi saat hanya mengenakan jins ketat ini tanpa pakaian apapun lagi dibaliknya .
            Aku merasa begitu bergairah. Bayangan tubuh Mas Indra yang gempat berotot membuatku menjadi bersemangat.
* * *
            Aku mengenal Mas Indra secara online setahun yang lalu lewat salah satu media sosial khusus untuk kaum sejenis.  Ia menyapaku melalui jalur pribadi dan mengajakku berkenalan.  Tak butuh waktu lama untuk kami berdua bertukar nomor telepon. Dan mulailah dirinya menghubungiku dan bertanya-tanya. Mungkin lebih tepatnya menginterogasiku.
            “ Sudah lama begini? “
            “ Berat dan tinggi kamu? “
            “ Tinggal dengan siapa? “
            “ Tinggal dimana? “
            Dan daftar pertanyaan masih terus berlanjut secara mendetil. Hingga akhirnya
            “ Kita bisa bertemu, nggak? “
            “ Bisa, Mas. Dimana? Jam berapa? “
            Sejak saat itulah aku rutin bertemu dengan dirinya setiap kali ia harus bertugas di Jakarta.
          Aku ingat sore itu jantungku mulai berdetak kencang setelah percakapan melalui ponsel itu diakhiri. Seperti hari ini, aku mempersiapkan diriku sebaik-baiknya. Aku tak ingin memberi kesan pertama yang buruk. Tapi itu bukan satu-satunya alasan mengapa jantungku berdegup kencang. Ia adalah yang pertama bagiku.  
       Pertemuan pertama memang selalu membuat jantung ini deg-degan. Aku tak pernah tahu persis bagaimana rupanya. Aku tak pernah meminta foto dirinya. Ia hanya meminta foto diriku. Aku kuatir dan sedikit takut. Bagaimana kalau dirinya ternyata buruk rupa hingga membuatku kehilangan minat? Bagaimana kalau ternyata karakternya tak seperti kesan yang ditampilkannya melalui media online? Bagaimana kalau ternyata dia seseorang yang keras dan temperamental? Bagaimana kalau ternyata dia suka main tangan?
            Sejumlah bayangan buruk mulai berkelebat dalam otakku saat itu.
         Aku ingat mengendarai motor dan memarkirnya tepat di halaman depan salah satu minimarket berlokasi di seberang lokasi pertemuan kami. Setelah menyerahkan sedikit tip kepada tukang parker, aku menyeberangi jalan dengan sedikit keraguan menyelip di dalam hati. Ingin rasanya melangkahkan kaki kembali. Tapi aku harus melakukannya. Aku tak mungkin kembali lagi.
            Kudorong pintu kaca dan masuk ke dalam ruangan yang dinginnya cukup untuk membuat tubuh menggigil. Tapi aku justru merasakan butir-butir keringat mengalir di punggungku. Aku gelisah. Kutebar pandangan menyusuri seluruh penjuru ruangan. Berusaha memindai siapa tahu ada yang kukenal di tempat ini. Aku dapat merasakan tatapan mata curiga petugas keamanan berseragam safari biru tua.
            Kulangkahkan kaki menuju salah satu kursi di tengah ruangan. Kuhempaskan tubuhku ke kursi itu dan mengambil ponselku. Aku berusaha menyibukkan diri dengan membaca linimasa twitter-ku. Sesekali kuangkat kepalaku dan menebar pandangan ke penjuru ruangan.
            Kukirimkan pesan singkat melalui sms.

Aku sudah sampai, Mas. Aku tunggu ya.
OK. Sebentar ya!
Saya sudah di perjalanan. Sebentar lagi sampai.

Aku duduk manis menanti kedatangannya.
Berharap.
Berharap apakah orang yang berdiri di sana itu seperti dirinya? Atau seperti pria yang sedang berjalan meninggalkan resepsionis?  Aku terus berusaha membayangkan rupanya.
Hingga…
Tiba-tiba seorang pria, bertubuh sedikit gemuk, berkulit putih dan tingginya sedikit lebih pendek dariku berdiri di hadapanku tanpa kusadari. Ia mengenakan kemeja lengan panjang warna biru muda, pantalon berona abu-abu muda serta berkacamata dengan bingkai perak.
“ Hai! “ sapanya dengan nada rendah dan dalam. Senyumnya tampak ramah.
“ Ya, Mas Indra? “ Dalam hati aku merasa lega. Ia jauh lebih baik dari apa yang kubayangkan. Kuulurkan tangan kananku. Dan ia menyambutnya dengan menggenggam tanganku erat.
“ Ayo ikut saya! “
* * *
Sebelum berangkat aku berdoa dalam hati, “Tuhan ampuni aku. Mohon lindungan-Mu.”
            Aku mengeluarkan motor bebek hitamku ke pinggir jalan. Kukunci pagar rumah. Kemudian menyalakan motorku dan mulai menyusuri jalanan menuju tempat Mas Indro. Seperti biasa aku memarkir motorku tepat di halaman depan salah satu minimarket berlokasi di seberang lokasi pertemuan kami. Setelah menyerahkan sedikit tip kepada tukang parkir, aku menyeberangi jalan dengan sedikit keraguan menyelip di dalam hati. Ingin rasanya melangkahkan kaki kembali. Tapi aku harus melakukannya. Aku tak mungkin kembali lagi.
            “ Ayo ikut saya! “
Akupun melangkahkan kaki mengikuti dirinya, menaiki tangga escalator. Aku sedikit bergidik. Aku dapat merasakan tatapan penuh arti dari petugas keamanan dan gadis-gadis di balik meja resepsionis.
“ Sudah menunggu lama? “
Dadaku masih berdegup kencang.
“ Ehm… Belum kok, Mas. “
Aku kembali merasakan keringat dingin mengalir di punggungku.
“ Aku kangen banget. “
Aku merasakan segalanya dalam diriku berkecamuk. Sebagian otakku mengatakan aku harus terus berjalan dan melakukan hal ini. Tapi hatiku menolak untuk melakukannya.
“ Aku juga, Mas. Lama sekali Mas nggak ke Jakarta. Biasanya rutin tiap bulan. “
“ Iya, kebetulan lagi jarang dapat tugas nih. “
Kami melangkahkan kaki menyusuri lorong panjang remang-remang. Ia kemudian berhenti di depan salah satu pintu dan membukanya dengan kunci di tangannya. Kemudian Mas Indro mengajakku masuk.
* * *
            Aku terkenang saat awal-awal perkenalan kami. Puji dan rayu mengalir di udara terbawa gelombang elektromagnet dari jari-jemarinya ke layar ponselku.
            Kamu gemesin!
            Sepertinya kamu nggak pernah terlihat jelek ya?
            Pakai apapun kamu terlihat selalu menarik.
            Belum ketemu tapi aku sudah kangen kamu!
            Itu hanya sebagian dari sederetan kalimat yang membuat hatiku berbunga-bunga saat membacanya.
            Menyedihkan sekaligus melambungkan. Itu realitas bagaimana ilusi akan kehadiran seseorang buatku terasa nyata sekaligus maya. Dia ada tapi jauh dari rengkuhanku. Seakan apa yang ada di benakku tentang seorang pria impian akan mampu dipenuhinya.
            Padahal……
* * *
Aku mendahuluinya masuk ke dalam kamar. Ia menyusul di belakangku, kemudian menutup pintu dan menguncinya.
Aku berdiri, terdiam mematung.
Ia meraih tanganku, menggenggamnya dan menarikku menuju ke ranjang. Kemudian ia mendorongku hingga aku terjatuh di atas ranjang.
“ Kamu begitu menggairahkan malam ini!”
Aku tak mampu menjawab pujiannya itu. Bibirku terkunci oleh lumatan bibirnya. Tangannya menelusuri seluruh tubuhku. Dengan liar ia membuka seluruh pakaianku. Tak segan-segan ia menggigit, memukul dan menamparku dengan kasar.
Ah Tuhan, kurasa aku pantas mendapatkan siksaan ini.
Suara desahan maupun lenguhannya
Tubuhnya menindihku berulang-ulang. Ia terus menekan sembari melayangkan tangannya dengan kasar ke seluruh tubuhku. Wajahku terasa panas terkena tamparan tangannya. Bukan hanya wajah, bahkan bokongku terasa panas akibat tamparan telapak tangannya yang bertubi-tubi.  
Tak butuh waktu lama untuk Mas Indra mencapai klimaks.
Lenguhannya cukup keras hingga menutup suara tertahanku menahan perih di bokongku. Wajahnya memerah. Kedua matanya tertutup menahan kenikmatan yang hanya berlangsung beberapa detik. Sementara aku dapat merasakan wajahku memerah menahan sakit.
Ia kemudian melepaskan diriku dari sengatan kelaminnya yang melunglai. Berdiri meninggalkan ranjang dan berjalan menuju ke kamar mandi.
Aku meringkuk di atas ranjang. Perih ini masih akan kurasakan selama beberapa hari ke depan. Kudengar alunan suara Mas Indra bernyanyi dengan sumbang. Tak lama kemudian ia keluar dari kamar mandi. Aku segera bangkit meninggalkan ranjang dan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari peluh dan pejuh yang melekat di tubuh. Setelah itu aku segera keluar dan memungut pakaianku yang berserakan di atas karpet. Kukenakan pakaianku dengan terburu-buru karena melihat Mas Indra telah berpakaian lengkap duduk menungguku di samping ranjang.
“ Terakhir aku kasih kamu berapa ya? ” tanya Mas Indra.
“ Dua ratus, Mas, “ jawabku.
“ Nih, aku kasih dua ratus lima puluh ya? “ ujarnya sambil mengulurkan lima lembar uang lima puluh ribuan.
“ Terima kasih, Mas! ” jawabku sembari menyambut pemberiannya.
“ Terima kasih ya, “ lanjutnya lagi. Ia kemudian berjalan ke arah pintu kamar dan membuka kuncinya.
“ Sama-sama, Mas. “
Aku mengerti pertanda itu. Ia tak ingin menghabiskan waktu berlama-lama lagi dengan diriku. Tak ada foreplay, jadi tak perlu bermimpi akan ada afterplay. Aku melangkahkan kaki dan keluar melalui pintu itu tanpa pernah membalikkan badan lagi.
Di hotel ini, sekeluarku dari pintu kamar, kami haruslah seperti dua orang asing yang tak pernah saling mengenal. Di lorong hotel aku berpapasan dengan salah seorang pembersih kamar. Matanya mengarah kepadaku dengan penuh tanda tanya. Aku menanggapinya dengan wajah dingin.
Haruskah aku merasa malu? Sedikit malu masih terselip di dalam lubuk hati terdalam. Rasa itu terbenam dibawah lapisan rasa sedih dan galau. Tak mungkin nasib Julia Roberts dalam Pretty Woman akan menjadi kenyataan dalam hidup gigolo ini.
Aku butuh sayang tapi juga butuh uang.
Bukan di saat yang akan datang tapi sekarang.
Sebelum diriku kehabisan pangan dan mati kekurangan.
Aku hanya kekasih setengah jam.
T A M A T

Thursday, August 23, 2012

SELAMAT IDUL FITRI

Kami mengucapkan 
Selamat Idul Fitri 
1 Syawal 1433H
Mohon Maaf Lahir dan Batin


Terima kasih kepada seluruh pelanggan Klappertaart Online yang telah memesan Klappertaart dan Dureantaart dalam merayakan Lebaran. Semoga Lebaran kali ini menjadi momen semanis Klappertaart dan Dureantaart. 

Tuesday, August 7, 2012

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA


Sebenarnya dari kapan tau ingin posting ucapan ini. Tapi entah mengapa gagal terus diupload padahal gambarnya bagus. 
Saya dari Klappertaart Online mengucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa. 


Thursday, August 2, 2012

PAKET KLAPPERTAART UNTUK RAMADAN + LEBARAN

MENU KLAPPERTAART
 (kiri-kanan) : Original Klappertaart, Mocca Klappertaart, Cheese Klappertaart, Dureantaart



Pagi ini kami ingin menginformasikan berbagai variasi menu Klappertaart kami. Sebagai awal tentulah bestseller Klappertaart Original
ORIGINAL KLAPPERTAART 


Variasi alternatif dari Klappertaart adalah Mocca Klappertaart. Terinspirasi kekayaan kopi + coklat Nusantara.
MOCCA KLAPPERTAART 


Alternatif lainnya adalah Cheese Klappertaart, yaitu sejenis Klappie dg topping Cream Cheese.
CHEESE KLAPPERTAART 


Menu andalan lainnya Dureantaart! Terinspirasi dari resep original custard pudding ala Klappie dipadukan buah Nusantara durian. Dureantaart, resep Klappertaart dg isian diganti dg Durian! 
DUREANTAART 


Jadi tentukan pilihan ya tweet♥s! Ada Klappie Ori, Mocca Klappie, Cheese Klappie juga Dureantaart.
Untuk ukuran kami hanya menyediakan 4 macam ukuran:
loyang bundar 17cm seharga Rp.100K, 
loyang kotak 22cm Rp.150K, 
loyang kotak 26x33cm Rp.300K, 
box 16cup Rp.200K. 
Belum termasuk ongkir. 
Untuk cup per box hanya dapat memesan 1 varian/rasa!