Melihat persaingan pencakar langit di berbagai negara di dunia rasanya memang menakjubkan sekaligus membuat terengah-engah. Di satu sisi memang menakjubkan dengan berbagai kecanggihan teknologi dalam dunia sipil arsitektur, konstruksi dan teknik bangunan saat ini. Untuk membangun Burj Dubai tentunya tidak mungkin lagi menggunakan teknik-teknik lama. Untuk membawa cairan beton ke ketinggian sekian ratus meter dari tanah tentu membutuhkan teknik dan penelitian lebih lanjut supaya saat saat tiba di lantai yang dimaksud beton tidak sampai mengering. Itu baru dari soal adukan beton. Belum masalah kontruksi yang harus menahan angin gurun serta kondisi cuaca yang drastis perbedaannya antara siang dan malam hari.
Pernahkan Anda membayangkan bagaimana cepatnya lift yang akan digunakan nanti di Burj Dubai? Untuk mencapai ketinggian tertentu di Burj Dubai tentu tidak mungkin menggunakan lift-lift seperti yang ada di gedung-gedung perkantoran atau apartemen di Jakarta saat ini. Tentu akan menyita banyak waktu jika kita hendak menuju lantai-lantai di tempat yang tinggi.
Membangun gedung-gedung pencakar langit yang tinggi tentu membutuhkan bukan hanya dana besar tapi juga teknologi tinggi untuk membangunnya. Dan yang paling penting adalah segi keamanan dan keselamatan.
Yah yang namanya gempa, kebakaran atau serangan terorisme siapa sih yang bisa meramalkan? Memang untuk kebakaran, sudah ada sistem antisipasinya. Mulai dari smoke detector, yang bekerja dengan mendeteksi asap. Sprinkler yang menyemprotkan air setelah mendeteksi suhu ruangan yang naik akibat kebakaran. Dan alarm yang memberikan peringatan berdasarkan deteksi asap dan sprinkler. Sementara untuk jalan keluar ada tangga darurat.
Cuma yang jadi masalah kan mau seberapa ampuh semua itu kalau kita berada di ketinggian yang nun jauh di atas sana rasanya percuma saja jika kejadian macam World Trade Centre di New York terjadi. Kalau kebakaran berada di lantai 30 sementara kita berada di lantai 50? Apa yang bisa kita lakukan? Mau meloncat? Apa helicopter bisa menyelamatkan? Apa tangga darurat tetap tahan api? Apa tangga mobil pemadam bisa mencapai kita?
Ya mungkin memang waktunya untuk kita mati dengan cara seperti itu. Tapi apa iya kita mau mati seperti itu. Lebih tepatnya apa iya bangunan tempat kita bekerja memang dirancang supaya kita mati seperti itu?
Ya memang sih di perkotaan lahan semakin sempit dan mahal. Tapi apa memang tidak ada cara lain? Apa memang harus membangun sebegitu grande-nya?
Kadang pemikiran saya desain dan arsitektur dibuat untuk hidup lebih jumawa ketimbang hidup lebih berkualitas. Seakan-akan lebih tinggi, lebih besar, lebih indah lantas semua persoalan hidup selesai. Setahu saya semua persoalan hidup selesai saat kita meninggal.
Setiap kali selesai pembangunan sebuah pencakar langit dengan rekor baru, umumnya selalu diikuti oleh krisis moneter. World Trade Centre menandai krisis yang melanda Amerika pada akhir tahun 1970an. Petronas menandai krisis moneter Asia pertengahan akhir 90an. Dan sekarang Burj Dubai ternyata menandai krisis hutang akibat hutang yang terlampau besar akibat mengejar kemewahan berkelebihan.
Monday, October 26, 2009
Sunday, October 18, 2009
PANTRY vs KITCHEN
Mungkin ada baiknya kalau kita mengenal beda kitchen dan pantry. Kitchen adalah dapur atau ruang tempat menyiapkan dan memasak makanan. Sedangkan pantry yang berasal dari bahasa Perancis 'paneterie' adalah tempat menyimpan perlengkapan masak, bahan2 makanan dan tempat menyiapkan bahan-bahan sebelum diolah di dapur.
Di dapur ada konsep segitiga dapur yang mencangkup kompor, sink/tempat cuci piring dan lemari pendingin.
Sementara pantry sebenarnya lebih merupakan tempat penyimpanan dan penyajian praktis makanan atau minuman terutama di tempat yang memiliki pengolahan atau penyimpanan anggur. Jadi pada pantry penekanannya ada pada lemari pendingin serta meja penyajian.
Sejak dulu orang Indonesia sebenarnya lebih mengenal konsep dapur ketimbang pantry. Perbedaannya pada saat ini adalah karena kemajuan jaman, paparan informasi dan budaya dari barat, maka orang Indonesia mengadopsi konsep pantry.
Kalau diperhatikan, masakan Indonesia lebih kompleks dalam cara memasaknya. Itu sebabnya konsep dapur sebenarnya lebih cocok untuk digunakan di Indonesia. Sementara konsep dapur ala barat bisa dikatakan lebih steril karena kebiasaan memasak yang lebih praktis ketimbang orang Indonesia. Jadi microwave memang mau tidak mau menjadi alat tambahan di luar 3 alat utama dapur. Atau masih bisa ditambah lagi dengan dishwasher machine. Semua itu karena tuntutan waktu dan kesibukan hingga kepraktisan menjadi alasan utama.
Jika di barat dikenal konsep mini bar sebagai bentuk lain dari pantry dengan spesialisasi sebagai tempat menyimpan minuman. Maka di Indonesia yang tidak terlalu mengenal kebiasaan minum-minum sosial, maka bentuk pantry lah yang diadaptasi. Meski saat ini juga ada yang mulai membuat mini bar lengkap dengan koleksi wine yang beragam.
Di Indonesia pantry dipisahkan dengan dapur kotor atau kitchen dengan alasan area pembantu dan lebih kotor. Ehm apa ini bukti sisa2 feodalisme dalam menyentuh kehidupan rumah tangga? Entahlah. Saya pikir sih yang namanya dapur kalau dipakai memasak pasti kelihatan kotor dan berantakan. Masalahnya adalah apa pengguna dan pemilik dapur bisa lebih rapi, terorganisasi dan rajin membersihkan setelah memasak?
Sepertinya hanya di Indonesia saja rumah tangga kelas menengah atas memiliki dua dapur yang berbeda. Pantry atau dapur bersih dan kitchen atau dapur kotor.
Beberapa orang menganggap ini adalah hasil budaya kelebihan uang. Saya menyebutnya dengan trophy kitchen. Seperti piala, untuk dipamerkan dan dibanggakan tapi sebenarnya tidak berfungsi apa-apa.
Di dapur ada konsep segitiga dapur yang mencangkup kompor, sink/tempat cuci piring dan lemari pendingin.
Sementara pantry sebenarnya lebih merupakan tempat penyimpanan dan penyajian praktis makanan atau minuman terutama di tempat yang memiliki pengolahan atau penyimpanan anggur. Jadi pada pantry penekanannya ada pada lemari pendingin serta meja penyajian.
Sejak dulu orang Indonesia sebenarnya lebih mengenal konsep dapur ketimbang pantry. Perbedaannya pada saat ini adalah karena kemajuan jaman, paparan informasi dan budaya dari barat, maka orang Indonesia mengadopsi konsep pantry.
Kalau diperhatikan, masakan Indonesia lebih kompleks dalam cara memasaknya. Itu sebabnya konsep dapur sebenarnya lebih cocok untuk digunakan di Indonesia. Sementara konsep dapur ala barat bisa dikatakan lebih steril karena kebiasaan memasak yang lebih praktis ketimbang orang Indonesia. Jadi microwave memang mau tidak mau menjadi alat tambahan di luar 3 alat utama dapur. Atau masih bisa ditambah lagi dengan dishwasher machine. Semua itu karena tuntutan waktu dan kesibukan hingga kepraktisan menjadi alasan utama.
Jika di barat dikenal konsep mini bar sebagai bentuk lain dari pantry dengan spesialisasi sebagai tempat menyimpan minuman. Maka di Indonesia yang tidak terlalu mengenal kebiasaan minum-minum sosial, maka bentuk pantry lah yang diadaptasi. Meski saat ini juga ada yang mulai membuat mini bar lengkap dengan koleksi wine yang beragam.
Di Indonesia pantry dipisahkan dengan dapur kotor atau kitchen dengan alasan area pembantu dan lebih kotor. Ehm apa ini bukti sisa2 feodalisme dalam menyentuh kehidupan rumah tangga? Entahlah. Saya pikir sih yang namanya dapur kalau dipakai memasak pasti kelihatan kotor dan berantakan. Masalahnya adalah apa pengguna dan pemilik dapur bisa lebih rapi, terorganisasi dan rajin membersihkan setelah memasak?
Sepertinya hanya di Indonesia saja rumah tangga kelas menengah atas memiliki dua dapur yang berbeda. Pantry atau dapur bersih dan kitchen atau dapur kotor.
Beberapa orang menganggap ini adalah hasil budaya kelebihan uang. Saya menyebutnya dengan trophy kitchen. Seperti piala, untuk dipamerkan dan dibanggakan tapi sebenarnya tidak berfungsi apa-apa.
Saturday, October 17, 2009
MEMILIH KURSI KERJA
Pernahkah Anda merasakan tubuh sakit setelah seharian duduk bekerja? Otot kaki tegang, punggung pegal, pinggang sakit, bokong terasa nyeri, bahu kaku, tangan nyeri? Kalau pernah, itu berarti saatnya Anda perlu memperhatikan kursi kerja yang dipakai dan sikap tubuh selama duduk bekerja.
Sering kita bepikir kursi kerja semakin besar ukurannya, semakin baik. Pemikiran yang keliru. Kursi kerja yang besar, gagah dan mewah memang menunjukkan kedudukan seseorang yang tinggi dalam suatu perusahaan. Tetapi kursi kerja eksekutif, yang umumnya dapat direbahkan ke belakang, seperti itu dirancang bukan untuk kegiatan bekerja seperti mengetik, menulis di depan komputer sepanjang hari. Kursi kerja eksekutif seperti itu dirancang bagi pimpinan perusahaan dimana pekerjaannya lebih banyak dilakuan dengan posisi tubuh lebih santai seperti menelepon, menandatangani surat, mengambil keputusan, berbincang-bincang. Kesalahan membeli kursi seperti ini menyulitkan tubuh kita.
Sediakan Waktu untuk Mencoba
Mendapatkan kursi kerja yang tepat memerlukan waktu yang cukup, karena kursi itu bersentuhan langsung dengan tubuh kita. Kita harus menemukan kursi kerja yang pas dengan ukuran tubuh kita. Sama seperti membeli busana. Kita harus benar-benar mencobanya dengan tubuh kita. Anda harus dapat merasakannya apakah kursi tersebut sesuai dengan tubuh Anda. Apakah seluruh tubuh merasa nyaman saat duduk di atasnya? Apakah kursi itu cukup leluasa untuk tubuh bergerak? Apakah sandaran punggung, lengan kursi, dudukan, serta tingginya dapat disesuaikan dengan ukuran tubuh?
Kaki Tangan Kursi
Kursi kerja yang baik membuat telapak kaki menjejak di lantai sehingga beban kaki dan tubuh menyebar. Bukan hanya bertumpu pada kedua paha, tetapi disalurkan melalui telapak kaki ke lantai. Karena itu periksa sistem gas hidrolik pada tiang kaki kursi. Apakah bekerja dengan baik dan dapat disesuaikan dengan ukuran tinggi kaki saat kita duduk. Jika tinggi tubuh Anda terlalu pendek atau kaki tidak dapat menjejak di lantai, gunakan bangku pendek untuk mengganjal kaki Anda. Tetapi perhatikan juga jangan sampai bagian bawah paha tidak menempel di atas dudukan kursi.
Cobalah duduk di kursi kerja, kemudian gerakan kursi tersebut. Kursi kerja harus dalam kondisi stabil dan aman baik saat diduduki maupun bergerak. Dulu kursi kerja dibuat dengan 4 jari roda pada satu kaki tiang. Ini menyebabkan kursi tidak stabil saat bergerak sehingga dapat jatuh terbalik. Itulah sebabnya saat ini kursi kerja dirancang dengan 5 jari roda pada satu kaki tiang. Cobalah periksa apakah kelima rodanya berputar dengan baik saat kursi bergerak. Satu roda bermasalah membuat pekerjaan terganggu.
Ada kursi kerja yang memiliki sandaran tangan, ada juga yang tidak. Memang ada baiknya memilih kursi yang memiliki sandaran tangan. Sandaran tangan yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, sama-sama dapat membuat bahu cepat menjadi lelah. Sandaran tangan yang baik mampu menopang tangan dengan pas. Untuk mencegah cedera bahu saat bekerja. Saat ini umumnya kursi kerja yang dijual memiliki tinggi sandaran tangan yang sesuai standar ergonomis dan tak dapat disesuaikan dengan ukuran lengan. Jika Anda merasa tinggi sandaran tangan yang ada kurang mampu menopang dengan baik, sebaiknya pilih kursi yang memiliki sandaran tangan yang dapat disesuaikan dengan ukuran tinggi lengan atas Anda.
Kursi Penopang Tubuh
Ukuran kedalaman kursi yang baik menyisakan sedikit jarak antara betis dengan bagian depan dudukan kursi. Sehingga mengurangi tekanan pada siku belakang lutut Anda. Serta membuat bagian bokong dan punggung bagian bawah Anda menyatu dengan dudukan dan sandaran kursi. Ini membuat beban tubuh Anda tersalurkan merata melalui seluruh tubuh Anda ke sandaran dan dudukan kursi.
Jika dudukan kursi terlalu dalam, maka posisi tubuh Anda akan menjadi melengkung disebabkan kaki bagian bawah terhalang oleh dudukan. Posisi duduk seperti ini akan membuat seuruh punggung anda akan lebih cepat merasa lelah. Hal ini disebabkan punggung bagian bawah Anda menggantung, tidak menyatu dengan sandaran kursi. Akibatnya punggung bagian atas harus menahan sebagian beban tubuh terutama punggung bagian bawah.
Cobalah rasakan ruang gerak tubuh Anda saat duduk di kursi kerja. Sebaiknya ada sedikit ruang gerak bagi tubuh diantara sandaran dan dudukan kursi. Hal ini dimaksudkan untuk membantu pelumasan alami pada tulang belakang serta membantu proses sirkulasi darah, pernapasan serta pencernaan di dalam tubuh.
Coba rasakan apa ketebalan busa kursi kerja Anda cukup tebal untuk menopang tubuh dengan baik. Busa yang tipis tidak menjadi bantalan yang baik bagi tulang ekor. Rasanya akan seperti duduk di bangku kayu yang keras. Sehingga Anda lebih cepat gelisah yang justru mengganggu konsentrasi kerja. Busa yang tebal juga bukan berarti penopang dengan baik. Karena ada busa tebal tapi mudah kempis karena beban tubuh kita. Busa yang baik, lebih elastis mengikuti bentuk tubuh. Jadi bukan hanya ketebalan busa saja yang perlu diperhatikan. Tetapi keelastisannya juga.
Coba rasakan juga material penutup busa. Ada tiga macam yang umumnya ditawarkan, yaitu kulit asli, kulit sintetis dan kain. Bahan-bahan seperti kulit dan kulit sintetis biasanya tidak licin dan serta lebih mudah dibersihkan. Selain itu juga lebih kuat dan tahan lama dibandingkan kain. Kelemahannya lebih cepat membuat tubuh menjadi panas. Karena panas tubuh diinsulasi oleh bahan tersebut. Sedangkan kain memang perawatannya lebih rumit, tetapi tidak menghasilkan listrik statis saat bersentuhan dengan tubuh kita. Kain lebih nyaman karena lamban dalam membuat tubuh menjadi panas. Pilih juga warna bahan yang sesuai dengan selera, gaya interior atau citra yang ingin Anda sampaikan.
Saat ini beberapa produsen mengeluarkan kursi kerja dengan dudukan serta sandaran punggung tanpa busa. Melainkan terbuat dari kain atau karet plastik seperti jaring yang sangat elastis. Secara ergonomis penggunaan bahan elastis seperti ini sangat baik bagi tubuh. Karena keelastisannnya mengikuti bentuk tubuh sekaligus menopangnya. Lubang-lubang pada bahan tersebut juga berfungsi mengalirkan udara ke punggung. Sehingga punggung tidak lekas terasa panas.
Jangan lupa periksa tombol-tombol pengatur penyesuaian kursi, mulai dari pengatur ketinggian dudukan dan sandaran lengan, serta kemiringan sandaran punggung.
Jika semua aspek tersebut sudah Anda perhatikan, mungkin Anda bisa menemukan kursi yang tepat untuk Anda. Kursi kerja yang terasa lembut, empuk, pas dengan tubuh Anda. Serta sesuai dengan selera. Kursi kerja yang dapat membuat tubuh Anda tetap merasa nyaman, santai, dan segar meski telah duduk berjam-jam.
TIPS DUDUK BEKERJA YANG SEHAT
Duduk lama memang tak nyaman. Punggung, bokong menjadi panas. Bahu jadi pegal adalah tanda dari tubuh kita untuk melakukan sesuatu. Inilah tip supaya Anda dapat duduk bekerja dengan sehat:
- Tarik kursi kerja lebih mendekati meja kerja supaya dapat duduk dengan benar.
- Jangan duduk membungkuk ke depan. Sebaiknya posisi tubuh duduk dengan sedikit rebah ke belakang. Tempelkan punggung Anda pada sandaran kursi supaya beban tubuh bagian atas menyebar. Jadi tidak hanya bertumpu pada tulang ekor. Posisi bungkuk membuat beban pada tulang belakang dan bahu, sehingga mudah lelah.
- Ambil sedikit waktu untuk melakukan peregangan. Tubuh kita dirancang untuk bergerak. Toleransi waktu terlama yang dapat ditanggung tubuh untuk duduk manis adalah dua jam. Lewat dari itu tanda-tanda seperti panas dan gelisah akan mulai Anda rasakan. Melakukan peregangan sambil duduk atau berdiri membantu kesehatan tulang belakang, peredaran darah pada punggung serta pernapasan.
Friday, October 9, 2009
6 WASIAT EISENMAN
oleh M. Ridwan Kamil
Di Torino yang dingin berangin, menyeruput secangkir cappucino menjadi hal kecil yang
luar biasa. Kelegitan kopi terbaik yang pernah saya minum hadir setiap pagi. Di kota
tempat kongres UIA bulan Juli lalu ini tidak ditemukan satupun café Starbucks. Mungkin
mereka minder dengan kualitas cappucino khas orang Italia. Apalagi jika yang menyeduh
adalah Nicoletta, gadis ramping nan cantik mirip Angelina Jolie yang melayani delegasi
Indonesia di restoran Vittorio. Perfecto.
Dari sekian banyak acara dan ceramah dari para arsitek dunia di kongres UIA ini, ada satu
kuliah dari Peter Eisenman yang terus mengiang-ngiang di telinga saya. Dengan usianya
yang sudah tua dan gayanya yang kebapakan, Eisenman mengemukakan sedikitnya 6
pesan tentang tentang arsitektur kontemporer.
Itulah enam pesan dari arsitek yang mendedikasikan dirinya untuk terus mengajar dan
menularkan pemikiran-pemikiran kritis kepada ratusan muridnya dan ribuan
pengagumnya. Dunia arsitektur yang saat ini miskin provokasi memang membutuhkan
kehangatan pemikiran Eisenman. Sehangat dan semenyentak cappucino yang diseduh
Nicoletta, teman kita dari Torino. Kita memang butuh kehangatan yang menyentakkan
syaraf sekaligus menyegarkan pikiran. Setiap pagi.
Torino, Juli 2008.
Courtesy of: Ira Sophia
Di Torino yang dingin berangin, menyeruput secangkir cappucino menjadi hal kecil yang
luar biasa. Kelegitan kopi terbaik yang pernah saya minum hadir setiap pagi. Di kota
tempat kongres UIA bulan Juli lalu ini tidak ditemukan satupun café Starbucks. Mungkin
mereka minder dengan kualitas cappucino khas orang Italia. Apalagi jika yang menyeduh
adalah Nicoletta, gadis ramping nan cantik mirip Angelina Jolie yang melayani delegasi
Indonesia di restoran Vittorio. Perfecto.
Dari sekian banyak acara dan ceramah dari para arsitek dunia di kongres UIA ini, ada satu
kuliah dari Peter Eisenman yang terus mengiang-ngiang di telinga saya. Dengan usianya
yang sudah tua dan gayanya yang kebapakan, Eisenman mengemukakan sedikitnya 6
pesan tentang tentang arsitektur kontemporer.
- Eisenman mengingatkan bahwa kita sedang berada dalam krisis diskursus arsitektur. "Kita berada di dekade yang tidak menawarkan nilai baru," ujarnya. Yang ada hanya "lateness" atau kebaruan demi kebaruan geometri arsitektur yang berubah secara periodik tahunan, bulanan atau bahkan mingguan. Menurutnya tidak ada kegairahan perdebatan arsitektur dunia seperti halnya ketika arsitektur Modern bergeser ke Postmodern. Ataupun kegairahan ketika kerumitan dan kegeniusan diskursus dekonstruksi Derrida dipinjam oleh para arsitek dunia untuk menjadi wacana hangat di jamannya.
- Eisenman melihat banyaknya karya arsitektur kontemporer yang sibuk dengan geometri yang semakin rumit, namun seringkali tidak memiliki kualitas yang mampu menghadirkan makna mendalam. "Just a piece of meaningless form," kritiknya. Selain itu, banyak pula arsitektur yang tidak mampu memperkuat konteks kota dan budaya tempat ia berdiri. Karenanya Eisenman membenci Dubai. Baginya Dubai adalah sirkus arsitektur. Segala bentuk bisa hadir tanpa korelasi, tanpa preferensi dan tanpa didahului oleh esensi `livability' atau roh berkehidupan dari sebuah kota. Kota adalah untuk manusia. Dan Dubai tidak memilikinya.
- Eisenman merenungi bahwa karya arsitektur seharusnya bisa dirasakan sampai ke lerung hati terdalam. Arsitektur tidak hanya cukup menjadi sebuah entitas dan objek visual semata. Arsitektur terbaik adalah arsitektur yang mampu menyentuh psikologis manusia secara emosional. "let the heart be your judge," ungkapnya. Arsitektur harus mampu mengalirkan makna-makna di ruang-ruang tiga dimensional itu. Renungannya ini sejalan dengan konsep `tactility' yang didengungkan sosiolog Kenichi Sasaki yang memuji arsitektur yang menstimulasi seluruh indra manusia. Arsitektur yang tidak memanjakan indra visual semata.
- Eisenman mengingatkan kita, terutama para mahasiswa arsitektur, untuk tidak mendewakan komputer. Eisenman mengkhawatirkan generasi sekarang yang menggantungkan 100 persen proses desain dengan komputer. "Mereka menjual keindahan melalui manipulasi photoshop," debatnya. Dengan imaji-imaji yang secara visual spektakuler seolah urusan sudah selesai. Baginya proses desain harus dimulai dari kerja keras kontemplasi berpikir. Konsep desain harus mampu dirasakan dengan hati. Kemudian mengalir deras ke syaraf-syaraf di sepanjang jari-jari tangan. Karenanya sensitivitas indrawi masih ia anggap yang terbaik dalam melatih pencarian konsep berarsitektur.
- Eisenman berpesan bagi para arsitek di negara-negara berkembang untuk tetap optimis dan selalu merasa beruntung. Beruntung karena pada umumnya negara berkembang seperti kebanyakan negara di Asia masih memiliki referensi eksotisme budaya. Budaya yang masih memiliki tradisi kultural sebagai sumber konsep, legenda yang emosional sebagai sumber makna dan ritual referensional sebagai sumber cerita. Kekayaan-kekayaan kultural inilah yang tidak dimiliki di negara Barat seperti halnya Amerika Serikat tempatnya bermukim dan berpraktek.
- Eisenman menceritakan bahwa tiada yang lebih bermakna dalam profesi arsitek selain dari sebuah ketulusan pertemanan dan kesetiakawanan sesama arsitek. Ia kemudian bercerita tentang struktur vertikal di proyek Galia Cultural di Spanyol yang ia bangun sebagai perwujudan wasiat terakhir dari mendiang sahabatnya John Hedjuk. Mendiang koleganya yang sering menjadi teman minum kopi, sahabat berdiskusi dan kritikusnya selama mereka berpraktek di New York. Persahabatan adalah keindahan.
Itulah enam pesan dari arsitek yang mendedikasikan dirinya untuk terus mengajar dan
menularkan pemikiran-pemikiran kritis kepada ratusan muridnya dan ribuan
pengagumnya. Dunia arsitektur yang saat ini miskin provokasi memang membutuhkan
kehangatan pemikiran Eisenman. Sehangat dan semenyentak cappucino yang diseduh
Nicoletta, teman kita dari Torino. Kita memang butuh kehangatan yang menyentakkan
syaraf sekaligus menyegarkan pikiran. Setiap pagi.
Torino, Juli 2008.
Courtesy of: Ira Sophia
Thursday, October 8, 2009
GREEN LABEL
Kadang suka tersenyum sendiri kalau membaca membaca artikel tentang interior rumah tinggal publik figur dan mendapatkan stempel 'green' atau berwawasan lingkungan hanya karena menanam penghijauan di sekitar rumahnya.
Tepat tidak ya istilah berwawasan lingkungan. Mungkin lebih tepatnya berkonsep ramah lingkungan.
Sebenarnya kalau cuma meletakkan satu dua pohon di halaman rumah ditambah rumput sudah mendapatkan label ramah lingkungan mungkin halaman rumah tetangga depan rumah saya yang memiliki dari anggrek hutan sampai pohon Matoa semuanya asal Papua bisa mendapatkan Nobel kategori pemerhati lingkungan.
Yah setidaknya publik figure tersebut sudah ada kesadaran utk lebih memperhatikan lingkungan. Mudah-mudahan para penggemarnya jadi lebih terinspirasi untuk memperhatikan lingkungan. Jadi lebih banyak lagi yang memperhatikan lingkungan.
Yah kategori ramah lingkungan itu tidak cuma sekedar kosmetik, aksesoris label rumah. Rumah berwawasan lingkungan itu tergantung sejauh mana penghayatan dari penghuni rumahnya akan kesadaran lingkungan. Bukan hanya sekedar tanam sejuta pohon, seperti gerakan Pemda DKI.
Tepat tidak ya istilah berwawasan lingkungan. Mungkin lebih tepatnya berkonsep ramah lingkungan.
Sebenarnya kalau cuma meletakkan satu dua pohon di halaman rumah ditambah rumput sudah mendapatkan label ramah lingkungan mungkin halaman rumah tetangga depan rumah saya yang memiliki dari anggrek hutan sampai pohon Matoa semuanya asal Papua bisa mendapatkan Nobel kategori pemerhati lingkungan.
Yah setidaknya publik figure tersebut sudah ada kesadaran utk lebih memperhatikan lingkungan. Mudah-mudahan para penggemarnya jadi lebih terinspirasi untuk memperhatikan lingkungan. Jadi lebih banyak lagi yang memperhatikan lingkungan.
Yah kategori ramah lingkungan itu tidak cuma sekedar kosmetik, aksesoris label rumah. Rumah berwawasan lingkungan itu tergantung sejauh mana penghayatan dari penghuni rumahnya akan kesadaran lingkungan. Bukan hanya sekedar tanam sejuta pohon, seperti gerakan Pemda DKI.
Dari apa yang saya peroleh rumah berwawasan lingkungan itu kalau:
- Menggunakan furniture recycle
- Menggunakan material bangunan recycle
- Menggunakan material bangunan,material finishing yang telah mendapatkan sertifikasi ramah lingkungan
- Furniture kayu berasal dari pohon2 yang mudah regenerasinya
- Memaksimalkan penggunaan tenaga surya untuk menerangi rumah, dengan cara membuat lebih banyak bukaan spt jendela supaya lebih banyak sinar surya masuk ketimbang menggunakan lampu listrik.
- Memanfaatkan tenaga surya sebagai pembangkit listrik daripada menggunakan listrik PLN yang berasal dari pembangkit listrik besar yang menghasilkan karbondioksida lebih banyak.
- Memanfaatkan tenaga angin sebagai pembangkit listrik dengan alasan sama seperti di atas.
- Mendaur ulang sisa sampah rumah tangga.
- Mendaur ulang sisa limbah rumah tangga aka isi septic tank.
- Mendaur ulang sisa pembuangan air.
- Menggunakan peralatan elektronik hemat energi seperti TV LED ketimbang TV biasa dan plasma.
Nah itu baru 11 point yang saya peroleh. Bisa jadi ada lebih banyak kalau ingin ditambahkan.
Apa? Mahal?
Ya memang mahal. Untuk udara segar yang Anda peroleh dan hidup setiap hari seumur hidup Anda tidak dikenakan bayaran toh? Sinar surya menerangi setiap hari juga gratis kan? Nah di sinilah tugas kita semua mengembalikan apa yang kita sudah ambil dari bumi ini. Jangan lihat mahalnya. Toh semua itu digunakan untuk Anda sendiri juga.
Untuk bumi yang lebih hijau, bersih untuk anak cucu kita nanti. Hidup lebih hijau.
Apa? Mahal?
Ya memang mahal. Untuk udara segar yang Anda peroleh dan hidup setiap hari seumur hidup Anda tidak dikenakan bayaran toh? Sinar surya menerangi setiap hari juga gratis kan? Nah di sinilah tugas kita semua mengembalikan apa yang kita sudah ambil dari bumi ini. Jangan lihat mahalnya. Toh semua itu digunakan untuk Anda sendiri juga.
Untuk bumi yang lebih hijau, bersih untuk anak cucu kita nanti. Hidup lebih hijau.
Tuesday, October 6, 2009
HOW TO WEAR BATIK, LOCAL TOUCH GLOBAL LOOK
Sunday, October 4, 2009
PASSION FOR BATIK
Maaf juga kalo saya terkesan sinis atas euphoria batik ini, bukan saya tidak menghargai upaya pemerintah.
Sebenarnya saya masih tidak/belum/kurang yakin penghargaan dari UNESCO itu atas usaha pemerintah.
Bukan mau show off, saya pakai batik dan punya koleksi kain batik sedikit lebih banyak dan lebih lama dari yg sebagian besar orang kira. Bahkan beberapa koleksi kain batik saya diminta ibu dan adik saya untuk mereka jadikan baju. Ada juga yg diminta saudara yang lain. Oh ya bukan cuma batik sih tapi ada kain tenun juga saya punya. Ada yg dari ibu saya seperti sutra asal Makasar.
Saya bahkan pernah mencoba membatik sejak SMA tahun 1995. Saya beli lilin malamnya, juga beli cantingnya serta kain blacu sebagai bahan eksperimen. Saya coba kerjakan di rumah. Ibu saya saksinya.
Saya pergi ke Gelar Batik Nusantara pada saat pertama kali digelar tahun 1996. Saya coba curi2 baca buku batik Iwan Tirta di Kinokuniya.
Dan saya merasa lebih yakin kalo penghargaan UNESCO itu lebih karena usaha lobby Ibu-Ibu yang tergabung di Wastaprema ketimbang Pemerintah. Beneran lho! Meski pada Kompas hari Minggu, 4 Oktober 2009 ini, Ketua Wastaprema, Ny. Adiati Arifin Siregar, mengakui perjuangan berbagai pihak seperti KADIN Indonesia, komunitas2 batik termasuk Pemerintah dalam perjuangan mengukuhkan Batik Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia.
Kalau Anda tidak tahu tahu Wastaprema itu apa, coba cek di sini
Well, Wastaprema itu himpunan pecinta kain adati Indonesia. Anggotanya bukan cuma ibu2 aja, tapi ibu2 pejabat, ibu2 mantan pejabat, desainer, kalau tidak salah ada juga expatriat yang adalah kolektor kain asal Nusantara. Jadi gak heran kalo mereka lebih luwes melobi UNESCO ketimbang pemerintah. Yah meskipun pasti ada upaya pemerintah di dalamnya, tapi tetap saja rasanya ada yg janggal.
Jadi kalau saya menganggap remeh euphoria orang2 Indonesia soal batik ya karena saya melihat sendiri status seperti ini di fesbuk
"klo seandainya Hari Batik Nasional (2 Oktober) tidak jatuh pada hari jumat, mungkin gw gak akan pake batik. hari ini gw pake batik karena tiap jumatnya emang biasa pake batik. how bout u?"
Jadi ya saya rasa sebagian besar memang tidak cinta-cinta amat sama batik. Cuma perayaan sesaat. Cuma ingin meramaikan saja.
Coba saja lihat di televisi. News Anchor di TV baju2nya? Kalo bukan saat perayaan Hari Kartini, Hari Kemerdekaan atau pas Lebaran dan Natal atau perayaan2 keagamaan mana ada yang mengenakan batik? Kalau yang di televisi saja sehari-hari gak bisa terlihat mengenakan batik gimana mereka yg tidak terpampang di televisi?
Ada yg tahu kalo motif batik kawung itu agak mirip dengan logo Louis Vuitton? Ada yang tahu kalo motif batik kawung itu dipakai oleh desainer Jaya Ibrahim untuk panel penyekat di hotel Darmawangsa? Ada yang tahu nggak kalo teknik batik itu bisa diterapkan pada kayu?
Jadi kalau Bpk. Fauzi Bowo berkoar-koar soal pakai batik pada tanggal 2 kemarin, sebenarnya almarhum Ali Sadikin sudah sejak tahun 70-an menghimbau seluruh jajaran Pemda DKI untuk mengenakan batik demi membantu kelangsungan hidup perajin batik yang waktu itu mulai ngos-ngosan digempur produk garmen.
Yah sebenarnya saya tidak bisa memaksakan orang-orang untuk cinta batik. Tapi ya kalo tidak cinta ya nggak usah ikut-ikutan sok suka/perhatian pada batik.
Kemarin itu rasanya euphoria batik sih menurut saya secara pribadi a lil bit overated. Ya bagus memang sih. Secara UNESCO mengukuhkan batik asal Indonesia sebagai warisan kekayaan dunia.
Cuma rasanya euphoria ini berlebihan mengingat sebagian besar kita baru heboh setelah batik diklaim sebagai warisan budaya Malaysia. Tapi coba pakai batik sehari-hari. Ehm mungkin sebagian besar akan keberatan. Masih ingat jaman kuliah dulu saya pakai batik lengan pendek dan sukses disindir bagaikan pak lurah, pak camat, dsb. Saya tidak tahu apa salahnya menjadi pak lurah dan pak camat. Notabene saya kuliah di fakultas desain lho, seharusnya mahasiswa2nya kan lebih open minded ya? Tapi ya begitulah kondisi di kaum muda waktu itu. Batik termarjinalkan sebelum Edward Hutabarat sukses mengangkat pamor batik kembali menjadi lebih muda dan kontemporer.
Beberapa waktu lalu ada seruan 'malu berbatik cap atau printing' di kompas.com dan account batik Indonesia di fesbuk. Seruan itu langsung menuai kritikan pedas.
Dengan alasan gak mampu. Puhlease deh ya, orang Indonesia itu gonti-ganti handphone, iphone, blackberry mahal bisa, tapi beli batik tulis yang bisa menghidupi pembatik dan keluarganya sekian bulan tiba-tiba merasa paling miskin sedunia.
Memang batik tulis itu mahal, malaikat juga tahu itu. Tapi tahu nggak sih berapa lama bikin batik tulis itu? Lama tahu, bisa 3 bulan baru selesai. Bagus mana sama batik cap? Ya batik tulis jauh lebih bagus dong.
Tidak perlulah memaksakan membeli yang baju jadi atau kain kan? Kalau memang tidak terjangkau dengan kantong, bisa membeli scarf atau dasi batik tulis aja dulu.
Kalau beli batik jangan dilihat cuma bagus atau dipake ke mana.
Jangan lihat fungsinya nggak kayak Blakcberry, Iphone, Ipod. Ada nilai filosofis dalam setiap motifnya, ada sejarah pembuatannya, ada sentuhan personalnya di tengah gempuran produk massal. Ada nilai sosial dan pelestarian budayanya.
Jangan disamakan dengan produk konveksi biasa. Beda kelas.
Yah saya cuma berharap ini bukan euphoria sesaat aja.
Sebenarnya saya masih tidak/belum/kurang yakin penghargaan dari UNESCO itu atas usaha pemerintah.
Bukan mau show off, saya pakai batik dan punya koleksi kain batik sedikit lebih banyak dan lebih lama dari yg sebagian besar orang kira. Bahkan beberapa koleksi kain batik saya diminta ibu dan adik saya untuk mereka jadikan baju. Ada juga yg diminta saudara yang lain. Oh ya bukan cuma batik sih tapi ada kain tenun juga saya punya. Ada yg dari ibu saya seperti sutra asal Makasar.
Saya bahkan pernah mencoba membatik sejak SMA tahun 1995. Saya beli lilin malamnya, juga beli cantingnya serta kain blacu sebagai bahan eksperimen. Saya coba kerjakan di rumah. Ibu saya saksinya.
Saya pergi ke Gelar Batik Nusantara pada saat pertama kali digelar tahun 1996. Saya coba curi2 baca buku batik Iwan Tirta di Kinokuniya.
Dan saya merasa lebih yakin kalo penghargaan UNESCO itu lebih karena usaha lobby Ibu-Ibu yang tergabung di Wastaprema ketimbang Pemerintah. Beneran lho! Meski pada Kompas hari Minggu, 4 Oktober 2009 ini, Ketua Wastaprema, Ny. Adiati Arifin Siregar, mengakui perjuangan berbagai pihak seperti KADIN Indonesia, komunitas2 batik termasuk Pemerintah dalam perjuangan mengukuhkan Batik Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia.
Kalau Anda tidak tahu tahu Wastaprema itu apa, coba cek di sini
Well, Wastaprema itu himpunan pecinta kain adati Indonesia. Anggotanya bukan cuma ibu2 aja, tapi ibu2 pejabat, ibu2 mantan pejabat, desainer, kalau tidak salah ada juga expatriat yang adalah kolektor kain asal Nusantara. Jadi gak heran kalo mereka lebih luwes melobi UNESCO ketimbang pemerintah. Yah meskipun pasti ada upaya pemerintah di dalamnya, tapi tetap saja rasanya ada yg janggal.
Jadi kalau saya menganggap remeh euphoria orang2 Indonesia soal batik ya karena saya melihat sendiri status seperti ini di fesbuk
"klo seandainya Hari Batik Nasional (2 Oktober) tidak jatuh pada hari jumat, mungkin gw gak akan pake batik. hari ini gw pake batik karena tiap jumatnya emang biasa pake batik. how bout u?"
Jadi ya saya rasa sebagian besar memang tidak cinta-cinta amat sama batik. Cuma perayaan sesaat. Cuma ingin meramaikan saja.
Coba saja lihat di televisi. News Anchor di TV baju2nya? Kalo bukan saat perayaan Hari Kartini, Hari Kemerdekaan atau pas Lebaran dan Natal atau perayaan2 keagamaan mana ada yang mengenakan batik? Kalau yang di televisi saja sehari-hari gak bisa terlihat mengenakan batik gimana mereka yg tidak terpampang di televisi?
Ada yg tahu kalo motif batik kawung itu agak mirip dengan logo Louis Vuitton? Ada yang tahu kalo motif batik kawung itu dipakai oleh desainer Jaya Ibrahim untuk panel penyekat di hotel Darmawangsa? Ada yang tahu nggak kalo teknik batik itu bisa diterapkan pada kayu?
Jadi kalau Bpk. Fauzi Bowo berkoar-koar soal pakai batik pada tanggal 2 kemarin, sebenarnya almarhum Ali Sadikin sudah sejak tahun 70-an menghimbau seluruh jajaran Pemda DKI untuk mengenakan batik demi membantu kelangsungan hidup perajin batik yang waktu itu mulai ngos-ngosan digempur produk garmen.
Yah sebenarnya saya tidak bisa memaksakan orang-orang untuk cinta batik. Tapi ya kalo tidak cinta ya nggak usah ikut-ikutan sok suka/perhatian pada batik.
Kemarin itu rasanya euphoria batik sih menurut saya secara pribadi a lil bit overated. Ya bagus memang sih. Secara UNESCO mengukuhkan batik asal Indonesia sebagai warisan kekayaan dunia.
Cuma rasanya euphoria ini berlebihan mengingat sebagian besar kita baru heboh setelah batik diklaim sebagai warisan budaya Malaysia. Tapi coba pakai batik sehari-hari. Ehm mungkin sebagian besar akan keberatan. Masih ingat jaman kuliah dulu saya pakai batik lengan pendek dan sukses disindir bagaikan pak lurah, pak camat, dsb. Saya tidak tahu apa salahnya menjadi pak lurah dan pak camat. Notabene saya kuliah di fakultas desain lho, seharusnya mahasiswa2nya kan lebih open minded ya? Tapi ya begitulah kondisi di kaum muda waktu itu. Batik termarjinalkan sebelum Edward Hutabarat sukses mengangkat pamor batik kembali menjadi lebih muda dan kontemporer.
Beberapa waktu lalu ada seruan 'malu berbatik cap atau printing' di kompas.com dan account batik Indonesia di fesbuk. Seruan itu langsung menuai kritikan pedas.
Dengan alasan gak mampu. Puhlease deh ya, orang Indonesia itu gonti-ganti handphone, iphone, blackberry mahal bisa, tapi beli batik tulis yang bisa menghidupi pembatik dan keluarganya sekian bulan tiba-tiba merasa paling miskin sedunia.
Memang batik tulis itu mahal, malaikat juga tahu itu. Tapi tahu nggak sih berapa lama bikin batik tulis itu? Lama tahu, bisa 3 bulan baru selesai. Bagus mana sama batik cap? Ya batik tulis jauh lebih bagus dong.
Tidak perlulah memaksakan membeli yang baju jadi atau kain kan? Kalau memang tidak terjangkau dengan kantong, bisa membeli scarf atau dasi batik tulis aja dulu.
Kalau beli batik jangan dilihat cuma bagus atau dipake ke mana.
Jangan lihat fungsinya nggak kayak Blakcberry, Iphone, Ipod. Ada nilai filosofis dalam setiap motifnya, ada sejarah pembuatannya, ada sentuhan personalnya di tengah gempuran produk massal. Ada nilai sosial dan pelestarian budayanya.
Jangan disamakan dengan produk konveksi biasa. Beda kelas.
Yah saya cuma berharap ini bukan euphoria sesaat aja.
Subscribe to:
Posts (Atom)