RING!
Aku
terhenyak dari lamunanku. Kuraih ponsel tuaku dari atas meja tempat aku
meletakkannya. Aku melepaskan sambungan kabel pengisi batere dari ponsel ini
yang sudah sedikit melingkar tak keruan. Kutekan salah satu tombol untuk
membuka kunci ponselku dan mulai mencari tahu siapa yang baru saja membunyikan
bel.
Indra
Sandy
Kuketikkan
balasan di dalam kolom pesan.
Ada apa, Mas?
Date yuk?
Dimana? Kapan?
Sore
ini, kamu ke tempat biasa aja.
Aku
sampai di situ sekitar jam 5 sore setelah pulang meeting.
Oke, nanti aku
ke sana.
Aku segera bangkit dari tempat
tidurku. Kulangkahkan kaki keluar menuju teras dan mengambil handuk dari tempat
jemuran. Aku segera masuk ke kamar mandi dan mengguyurkan air dingin dari dalam
bak dengan gayung. Rasanya begitu menyegarkan. Kululurkan pasta scrub ke seluruh tubuhku kemudian
menggosokkan sampo ke seluruh bagian rambutku hingga berbusa. Beberapa menit
kemudian aku membilas tubuhku dengan guyuran air dingin. Kucukur bulu di
ketiakku, rambut-rambut tipis di dada hingga perut. Rambut kemaluanku yang
tumbuh tak beraturan kucukur hingga tipis dan rapi. Tak lupa jambang, jenggot
dan kumisku kucukur hingga mulus tak berbekas.
Sore ini aku harus tampil prima untuk
Mas Indra.
Segera kukeringkan rambutku dengan
handuk. Kutuangkan sedikit hair tonic ke tanganku, kemudian kuusapkan ke
seluruh rambutku. Aku membasuh kedua tanganku dengan air kemudian mulai
menuangkan after shave murah ke
tangan dan mengusapkannya ke kedua permukaan bekas bercukur tadi. Tanganku
meraih deodorant dari rak dan mulai
mengosokkannya pada kedua ketiakku. Kemudian kuletakkan kembali ke atas rak dan
meraih sebotol body lotion kelas
minimarket. Aku menuangkan isinya kemudian mengoleskannya ke permukaan kulit
tubuh juga kedua tangan dan kakiku. Rasanya begitu wangi menyegarkan. Tapi ini
belum cukup untuk menemui seorang seperti Mas Indro.
Kugunting seluruh kuku kaki dan
tanganku agar terlihat lebih rapi. Kemudian kusemprotkan body spray ke seluruh tubuhku. Sedikit parfum dengan aroma senada
kusemprotkan ke bagian rambut kemaluanku, pergelangan tangan juga sekitar
samping leher.
Kali ini baru aku merasa cukup dan
percaya diri. Kuambil sehelai polo shirt
berona biru kelabu dan celana jins yang masih terlipat rapi dari ambalan di
dalam lemari. Kurapikan penampilanku. Tak ada gunanya mengenakan pakaian dalam
di balik jins ini. Aku selalu merasa seperti lagu Mulan, bagai mahluk Tuhan
yang paling seksi saat hanya mengenakan jins ketat ini tanpa pakaian apapun
lagi dibaliknya .
Aku merasa begitu bergairah.
Bayangan tubuh Mas Indra yang gempat berotot membuatku menjadi bersemangat.
* *
*
Aku mengenal Mas Indra secara online
setahun yang lalu lewat salah satu media sosial khusus untuk kaum sejenis. Ia menyapaku melalui jalur pribadi dan
mengajakku berkenalan. Tak butuh waktu
lama untuk kami berdua bertukar nomor telepon. Dan mulailah dirinya
menghubungiku dan bertanya-tanya. Mungkin lebih tepatnya menginterogasiku.
“ Sudah lama begini? “
“ Berat dan tinggi kamu? “
“ Tinggal dengan siapa? “
“ Tinggal dimana? “
Dan daftar pertanyaan masih terus
berlanjut secara mendetil. Hingga akhirnya
“ Kita bisa bertemu, nggak? “
“ Bisa, Mas. Dimana? Jam berapa? “
Sejak saat itulah aku rutin bertemu
dengan dirinya setiap kali ia harus bertugas di Jakarta.
Aku ingat sore itu jantungku mulai
berdetak kencang setelah percakapan melalui ponsel itu diakhiri. Seperti hari
ini, aku mempersiapkan diriku sebaik-baiknya. Aku tak ingin memberi kesan
pertama yang buruk. Tapi itu bukan satu-satunya alasan mengapa jantungku
berdegup kencang. Ia adalah yang pertama bagiku.
Pertemuan pertama memang selalu
membuat jantung ini deg-degan. Aku tak pernah tahu persis bagaimana rupanya.
Aku tak pernah meminta foto dirinya. Ia hanya meminta foto diriku. Aku kuatir
dan sedikit takut. Bagaimana kalau dirinya ternyata buruk rupa hingga membuatku
kehilangan minat? Bagaimana kalau ternyata karakternya tak seperti kesan yang
ditampilkannya melalui media online? Bagaimana kalau ternyata dia seseorang yang
keras dan temperamental? Bagaimana kalau ternyata dia suka main tangan?
Sejumlah bayangan buruk mulai
berkelebat dalam otakku saat itu.
Aku ingat mengendarai motor dan
memarkirnya tepat di halaman depan salah satu minimarket berlokasi di seberang
lokasi pertemuan kami. Setelah menyerahkan sedikit tip kepada tukang parker,
aku menyeberangi jalan dengan sedikit keraguan menyelip di dalam hati. Ingin
rasanya melangkahkan kaki kembali. Tapi aku harus melakukannya. Aku tak mungkin
kembali lagi.
Kudorong pintu kaca dan masuk ke
dalam ruangan yang dinginnya cukup untuk membuat tubuh menggigil. Tapi aku
justru merasakan butir-butir keringat mengalir di punggungku. Aku gelisah.
Kutebar pandangan menyusuri seluruh penjuru ruangan. Berusaha memindai siapa
tahu ada yang kukenal di tempat ini. Aku dapat merasakan tatapan mata curiga
petugas keamanan berseragam safari biru tua.
Kulangkahkan kaki menuju salah satu
kursi di tengah ruangan. Kuhempaskan tubuhku ke kursi itu dan mengambil
ponselku. Aku berusaha menyibukkan diri dengan membaca linimasa twitter-ku.
Sesekali kuangkat kepalaku dan menebar pandangan ke penjuru ruangan.
Kukirimkan pesan singkat melalui
sms.
Aku sudah
sampai, Mas. Aku tunggu ya.
OK.
Sebentar ya!
Saya
sudah di perjalanan. Sebentar lagi sampai.
Aku
duduk manis menanti kedatangannya.
Berharap.
Berharap
apakah orang yang berdiri di sana itu seperti dirinya? Atau seperti pria yang
sedang berjalan meninggalkan resepsionis? Aku terus berusaha membayangkan rupanya.
Hingga…
Tiba-tiba
seorang pria, bertubuh sedikit gemuk, berkulit putih dan tingginya sedikit
lebih pendek dariku berdiri di hadapanku tanpa kusadari. Ia mengenakan kemeja
lengan panjang warna biru muda, pantalon berona abu-abu muda serta berkacamata
dengan bingkai perak.
“ Hai! “ sapanya dengan nada rendah dan dalam. Senyumnya
tampak ramah.
“ Ya, Mas Indra? “ Dalam hati aku merasa lega. Ia jauh
lebih baik dari apa yang kubayangkan. Kuulurkan tangan kananku. Dan ia
menyambutnya dengan menggenggam tanganku erat.
“ Ayo ikut saya! “
* * *
Sebelum
berangkat aku berdoa dalam hati, “Tuhan ampuni aku. Mohon lindungan-Mu.”
Aku mengeluarkan motor bebek hitamku
ke pinggir jalan. Kukunci pagar rumah. Kemudian menyalakan motorku dan mulai
menyusuri jalanan menuju tempat Mas Indro. Seperti biasa aku memarkir motorku
tepat di halaman depan salah satu minimarket berlokasi di seberang lokasi
pertemuan kami. Setelah menyerahkan sedikit tip kepada tukang parkir, aku
menyeberangi jalan dengan sedikit keraguan menyelip di dalam hati. Ingin
rasanya melangkahkan kaki kembali. Tapi aku harus melakukannya. Aku tak mungkin
kembali lagi.
“ Ayo ikut saya! “
Akupun melangkahkan kaki mengikuti dirinya, menaiki tangga
escalator. Aku sedikit bergidik. Aku dapat merasakan tatapan penuh arti dari
petugas keamanan dan gadis-gadis di balik meja resepsionis.
“ Sudah menunggu lama? “
Dadaku masih berdegup kencang.
“ Ehm… Belum kok, Mas. “
Aku kembali merasakan keringat dingin mengalir di punggungku.
“ Aku kangen banget. “
Aku merasakan segalanya dalam diriku berkecamuk. Sebagian
otakku mengatakan aku harus terus berjalan dan melakukan hal ini. Tapi hatiku
menolak untuk melakukannya.
“ Aku juga, Mas. Lama sekali Mas nggak ke Jakarta. Biasanya
rutin tiap bulan. “
“ Iya, kebetulan lagi jarang dapat tugas nih. “
Kami melangkahkan kaki menyusuri lorong panjang
remang-remang. Ia kemudian berhenti di depan salah satu pintu dan membukanya
dengan kunci di tangannya. Kemudian Mas Indro mengajakku masuk.
* * *
Aku terkenang saat awal-awal
perkenalan kami. Puji dan rayu mengalir di udara terbawa gelombang elektromagnet
dari jari-jemarinya ke layar ponselku.
Kamu gemesin!
Sepertinya kamu nggak pernah
terlihat jelek ya?
Pakai apapun kamu terlihat selalu
menarik.
Belum ketemu tapi aku sudah kangen
kamu!
Itu hanya sebagian dari sederetan
kalimat yang membuat hatiku berbunga-bunga saat membacanya.
Menyedihkan sekaligus melambungkan.
Itu realitas bagaimana ilusi akan kehadiran seseorang buatku terasa nyata
sekaligus maya. Dia ada tapi jauh dari rengkuhanku. Seakan apa yang ada di
benakku tentang seorang pria impian akan mampu dipenuhinya.
Padahal……
* * *
Aku mendahuluinya masuk ke dalam kamar. Ia menyusul di
belakangku, kemudian menutup pintu dan menguncinya.
Aku berdiri, terdiam mematung.
Ia meraih tanganku, menggenggamnya dan menarikku menuju ke
ranjang. Kemudian ia mendorongku hingga aku terjatuh di atas ranjang.
“ Kamu begitu menggairahkan malam ini!”
Aku tak mampu menjawab pujiannya itu. Bibirku terkunci oleh
lumatan bibirnya. Tangannya menelusuri seluruh tubuhku. Dengan liar ia membuka
seluruh pakaianku. Tak segan-segan ia menggigit, memukul dan menamparku dengan
kasar.
Ah Tuhan, kurasa aku pantas mendapatkan siksaan ini.
Suara desahan maupun lenguhannya
Tubuhnya menindihku berulang-ulang. Ia terus menekan
sembari melayangkan tangannya dengan kasar ke seluruh tubuhku. Wajahku terasa
panas terkena tamparan tangannya. Bukan hanya wajah, bahkan bokongku terasa
panas akibat tamparan telapak tangannya yang bertubi-tubi.
Tak butuh waktu lama untuk Mas Indra mencapai klimaks.
Lenguhannya cukup keras hingga menutup suara tertahanku
menahan perih di bokongku. Wajahnya memerah. Kedua matanya tertutup menahan
kenikmatan yang hanya berlangsung beberapa detik. Sementara aku dapat merasakan
wajahku memerah menahan sakit.
Ia kemudian melepaskan diriku dari sengatan
kelaminnya yang melunglai. Berdiri meninggalkan ranjang dan berjalan menuju ke
kamar mandi.
Aku meringkuk di atas ranjang. Perih ini masih
akan kurasakan selama beberapa hari ke depan. Kudengar alunan suara Mas Indra
bernyanyi dengan sumbang. Tak lama kemudian ia keluar dari kamar mandi. Aku
segera bangkit meninggalkan ranjang dan menuju ke kamar mandi untuk
membersihkan diri dari peluh dan pejuh yang melekat di tubuh. Setelah itu aku segera
keluar dan memungut pakaianku yang berserakan di atas karpet. Kukenakan pakaianku
dengan terburu-buru karena melihat Mas Indra telah berpakaian lengkap duduk
menungguku di samping ranjang.
“ Terakhir aku kasih kamu berapa ya? ” tanya Mas
Indra.
“ Dua ratus, Mas, “ jawabku.
“ Nih, aku kasih dua ratus lima puluh ya? “ ujarnya sambil
mengulurkan lima lembar uang lima puluh ribuan.
“ Terima kasih, Mas! ” jawabku sembari menyambut
pemberiannya.
“ Terima kasih ya, “ lanjutnya lagi. Ia kemudian berjalan ke
arah pintu kamar dan membuka kuncinya.
“ Sama-sama, Mas. “
Aku mengerti pertanda itu. Ia tak ingin menghabiskan waktu
berlama-lama lagi dengan diriku. Tak ada foreplay,
jadi tak perlu bermimpi akan ada afterplay.
Aku melangkahkan kaki dan keluar melalui pintu itu tanpa pernah membalikkan
badan lagi.
Di hotel ini, sekeluarku dari pintu kamar, kami haruslah
seperti dua orang asing yang tak pernah saling mengenal. Di lorong hotel aku
berpapasan dengan salah seorang pembersih kamar. Matanya mengarah kepadaku
dengan penuh tanda tanya. Aku menanggapinya dengan wajah dingin.
Haruskah aku merasa malu? Sedikit malu masih terselip di
dalam lubuk hati terdalam. Rasa itu terbenam dibawah lapisan rasa sedih dan
galau. Tak mungkin nasib Julia Roberts dalam Pretty Woman akan menjadi
kenyataan dalam hidup gigolo ini.
Aku butuh sayang tapi juga butuh uang.
Bukan di saat yang akan datang tapi sekarang.
Sebelum diriku kehabisan pangan dan mati kekurangan.
Aku hanya kekasih setengah jam.
T A
M A T