Saturday, August 25, 2012

KEKASIH SETENGAH JAM


            RING!
            Aku terhenyak dari lamunanku. Kuraih ponsel tuaku dari atas meja tempat aku meletakkannya. Aku melepaskan sambungan kabel pengisi batere dari ponsel ini yang sudah sedikit melingkar tak keruan. Kutekan salah satu tombol untuk membuka kunci ponselku dan mulai mencari tahu siapa yang baru saja membunyikan bel.
            Indra Sandy
            Kuketikkan balasan di dalam kolom pesan.

Ada apa, Mas?
                                                                                                                        Date yuk?
Dimana? Kapan?
Sore ini, kamu ke tempat biasa aja.
Aku sampai di situ sekitar jam 5 sore setelah pulang meeting.
Oke, nanti aku ke sana.

            Aku segera bangkit dari tempat tidurku. Kulangkahkan kaki keluar menuju teras dan mengambil handuk dari tempat jemuran. Aku segera masuk ke kamar mandi dan mengguyurkan air dingin dari dalam bak dengan gayung. Rasanya begitu menyegarkan. Kululurkan pasta scrub ke seluruh tubuhku kemudian menggosokkan sampo ke seluruh bagian rambutku hingga berbusa. Beberapa menit kemudian aku membilas tubuhku dengan guyuran air dingin. Kucukur bulu di ketiakku, rambut-rambut tipis di dada hingga perut. Rambut kemaluanku yang tumbuh tak beraturan kucukur hingga tipis dan rapi. Tak lupa jambang, jenggot dan kumisku kucukur hingga mulus tak berbekas.
            Sore ini aku harus tampil prima untuk Mas Indra.
            Segera kukeringkan rambutku dengan handuk. Kutuangkan sedikit hair tonic ke tanganku, kemudian kuusapkan ke seluruh rambutku. Aku membasuh kedua tanganku dengan air kemudian mulai menuangkan after shave murah ke tangan dan mengusapkannya ke kedua permukaan bekas bercukur tadi. Tanganku meraih deodorant dari rak dan mulai mengosokkannya pada kedua ketiakku. Kemudian kuletakkan kembali ke atas rak dan meraih sebotol body lotion kelas minimarket. Aku menuangkan isinya kemudian mengoleskannya ke permukaan kulit tubuh juga kedua tangan dan kakiku. Rasanya begitu wangi menyegarkan. Tapi ini belum cukup untuk menemui seorang seperti Mas Indro.
            Kugunting seluruh kuku kaki dan tanganku agar terlihat lebih rapi. Kemudian kusemprotkan body spray ke seluruh tubuhku. Sedikit parfum dengan aroma senada kusemprotkan ke bagian rambut kemaluanku, pergelangan tangan juga sekitar samping leher.
            Kali ini baru aku merasa cukup dan percaya diri. Kuambil sehelai polo shirt berona biru kelabu dan celana jins yang masih terlipat rapi dari ambalan di dalam lemari. Kurapikan penampilanku. Tak ada gunanya mengenakan pakaian dalam di balik jins ini. Aku selalu merasa seperti lagu Mulan, bagai mahluk Tuhan yang paling seksi saat hanya mengenakan jins ketat ini tanpa pakaian apapun lagi dibaliknya .
            Aku merasa begitu bergairah. Bayangan tubuh Mas Indra yang gempat berotot membuatku menjadi bersemangat.
* * *
            Aku mengenal Mas Indra secara online setahun yang lalu lewat salah satu media sosial khusus untuk kaum sejenis.  Ia menyapaku melalui jalur pribadi dan mengajakku berkenalan.  Tak butuh waktu lama untuk kami berdua bertukar nomor telepon. Dan mulailah dirinya menghubungiku dan bertanya-tanya. Mungkin lebih tepatnya menginterogasiku.
            “ Sudah lama begini? “
            “ Berat dan tinggi kamu? “
            “ Tinggal dengan siapa? “
            “ Tinggal dimana? “
            Dan daftar pertanyaan masih terus berlanjut secara mendetil. Hingga akhirnya
            “ Kita bisa bertemu, nggak? “
            “ Bisa, Mas. Dimana? Jam berapa? “
            Sejak saat itulah aku rutin bertemu dengan dirinya setiap kali ia harus bertugas di Jakarta.
          Aku ingat sore itu jantungku mulai berdetak kencang setelah percakapan melalui ponsel itu diakhiri. Seperti hari ini, aku mempersiapkan diriku sebaik-baiknya. Aku tak ingin memberi kesan pertama yang buruk. Tapi itu bukan satu-satunya alasan mengapa jantungku berdegup kencang. Ia adalah yang pertama bagiku.  
       Pertemuan pertama memang selalu membuat jantung ini deg-degan. Aku tak pernah tahu persis bagaimana rupanya. Aku tak pernah meminta foto dirinya. Ia hanya meminta foto diriku. Aku kuatir dan sedikit takut. Bagaimana kalau dirinya ternyata buruk rupa hingga membuatku kehilangan minat? Bagaimana kalau ternyata karakternya tak seperti kesan yang ditampilkannya melalui media online? Bagaimana kalau ternyata dia seseorang yang keras dan temperamental? Bagaimana kalau ternyata dia suka main tangan?
            Sejumlah bayangan buruk mulai berkelebat dalam otakku saat itu.
         Aku ingat mengendarai motor dan memarkirnya tepat di halaman depan salah satu minimarket berlokasi di seberang lokasi pertemuan kami. Setelah menyerahkan sedikit tip kepada tukang parker, aku menyeberangi jalan dengan sedikit keraguan menyelip di dalam hati. Ingin rasanya melangkahkan kaki kembali. Tapi aku harus melakukannya. Aku tak mungkin kembali lagi.
            Kudorong pintu kaca dan masuk ke dalam ruangan yang dinginnya cukup untuk membuat tubuh menggigil. Tapi aku justru merasakan butir-butir keringat mengalir di punggungku. Aku gelisah. Kutebar pandangan menyusuri seluruh penjuru ruangan. Berusaha memindai siapa tahu ada yang kukenal di tempat ini. Aku dapat merasakan tatapan mata curiga petugas keamanan berseragam safari biru tua.
            Kulangkahkan kaki menuju salah satu kursi di tengah ruangan. Kuhempaskan tubuhku ke kursi itu dan mengambil ponselku. Aku berusaha menyibukkan diri dengan membaca linimasa twitter-ku. Sesekali kuangkat kepalaku dan menebar pandangan ke penjuru ruangan.
            Kukirimkan pesan singkat melalui sms.

Aku sudah sampai, Mas. Aku tunggu ya.
OK. Sebentar ya!
Saya sudah di perjalanan. Sebentar lagi sampai.

Aku duduk manis menanti kedatangannya.
Berharap.
Berharap apakah orang yang berdiri di sana itu seperti dirinya? Atau seperti pria yang sedang berjalan meninggalkan resepsionis?  Aku terus berusaha membayangkan rupanya.
Hingga…
Tiba-tiba seorang pria, bertubuh sedikit gemuk, berkulit putih dan tingginya sedikit lebih pendek dariku berdiri di hadapanku tanpa kusadari. Ia mengenakan kemeja lengan panjang warna biru muda, pantalon berona abu-abu muda serta berkacamata dengan bingkai perak.
“ Hai! “ sapanya dengan nada rendah dan dalam. Senyumnya tampak ramah.
“ Ya, Mas Indra? “ Dalam hati aku merasa lega. Ia jauh lebih baik dari apa yang kubayangkan. Kuulurkan tangan kananku. Dan ia menyambutnya dengan menggenggam tanganku erat.
“ Ayo ikut saya! “
* * *
Sebelum berangkat aku berdoa dalam hati, “Tuhan ampuni aku. Mohon lindungan-Mu.”
            Aku mengeluarkan motor bebek hitamku ke pinggir jalan. Kukunci pagar rumah. Kemudian menyalakan motorku dan mulai menyusuri jalanan menuju tempat Mas Indro. Seperti biasa aku memarkir motorku tepat di halaman depan salah satu minimarket berlokasi di seberang lokasi pertemuan kami. Setelah menyerahkan sedikit tip kepada tukang parkir, aku menyeberangi jalan dengan sedikit keraguan menyelip di dalam hati. Ingin rasanya melangkahkan kaki kembali. Tapi aku harus melakukannya. Aku tak mungkin kembali lagi.
            “ Ayo ikut saya! “
Akupun melangkahkan kaki mengikuti dirinya, menaiki tangga escalator. Aku sedikit bergidik. Aku dapat merasakan tatapan penuh arti dari petugas keamanan dan gadis-gadis di balik meja resepsionis.
“ Sudah menunggu lama? “
Dadaku masih berdegup kencang.
“ Ehm… Belum kok, Mas. “
Aku kembali merasakan keringat dingin mengalir di punggungku.
“ Aku kangen banget. “
Aku merasakan segalanya dalam diriku berkecamuk. Sebagian otakku mengatakan aku harus terus berjalan dan melakukan hal ini. Tapi hatiku menolak untuk melakukannya.
“ Aku juga, Mas. Lama sekali Mas nggak ke Jakarta. Biasanya rutin tiap bulan. “
“ Iya, kebetulan lagi jarang dapat tugas nih. “
Kami melangkahkan kaki menyusuri lorong panjang remang-remang. Ia kemudian berhenti di depan salah satu pintu dan membukanya dengan kunci di tangannya. Kemudian Mas Indro mengajakku masuk.
* * *
            Aku terkenang saat awal-awal perkenalan kami. Puji dan rayu mengalir di udara terbawa gelombang elektromagnet dari jari-jemarinya ke layar ponselku.
            Kamu gemesin!
            Sepertinya kamu nggak pernah terlihat jelek ya?
            Pakai apapun kamu terlihat selalu menarik.
            Belum ketemu tapi aku sudah kangen kamu!
            Itu hanya sebagian dari sederetan kalimat yang membuat hatiku berbunga-bunga saat membacanya.
            Menyedihkan sekaligus melambungkan. Itu realitas bagaimana ilusi akan kehadiran seseorang buatku terasa nyata sekaligus maya. Dia ada tapi jauh dari rengkuhanku. Seakan apa yang ada di benakku tentang seorang pria impian akan mampu dipenuhinya.
            Padahal……
* * *
Aku mendahuluinya masuk ke dalam kamar. Ia menyusul di belakangku, kemudian menutup pintu dan menguncinya.
Aku berdiri, terdiam mematung.
Ia meraih tanganku, menggenggamnya dan menarikku menuju ke ranjang. Kemudian ia mendorongku hingga aku terjatuh di atas ranjang.
“ Kamu begitu menggairahkan malam ini!”
Aku tak mampu menjawab pujiannya itu. Bibirku terkunci oleh lumatan bibirnya. Tangannya menelusuri seluruh tubuhku. Dengan liar ia membuka seluruh pakaianku. Tak segan-segan ia menggigit, memukul dan menamparku dengan kasar.
Ah Tuhan, kurasa aku pantas mendapatkan siksaan ini.
Suara desahan maupun lenguhannya
Tubuhnya menindihku berulang-ulang. Ia terus menekan sembari melayangkan tangannya dengan kasar ke seluruh tubuhku. Wajahku terasa panas terkena tamparan tangannya. Bukan hanya wajah, bahkan bokongku terasa panas akibat tamparan telapak tangannya yang bertubi-tubi.  
Tak butuh waktu lama untuk Mas Indra mencapai klimaks.
Lenguhannya cukup keras hingga menutup suara tertahanku menahan perih di bokongku. Wajahnya memerah. Kedua matanya tertutup menahan kenikmatan yang hanya berlangsung beberapa detik. Sementara aku dapat merasakan wajahku memerah menahan sakit.
Ia kemudian melepaskan diriku dari sengatan kelaminnya yang melunglai. Berdiri meninggalkan ranjang dan berjalan menuju ke kamar mandi.
Aku meringkuk di atas ranjang. Perih ini masih akan kurasakan selama beberapa hari ke depan. Kudengar alunan suara Mas Indra bernyanyi dengan sumbang. Tak lama kemudian ia keluar dari kamar mandi. Aku segera bangkit meninggalkan ranjang dan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari peluh dan pejuh yang melekat di tubuh. Setelah itu aku segera keluar dan memungut pakaianku yang berserakan di atas karpet. Kukenakan pakaianku dengan terburu-buru karena melihat Mas Indra telah berpakaian lengkap duduk menungguku di samping ranjang.
“ Terakhir aku kasih kamu berapa ya? ” tanya Mas Indra.
“ Dua ratus, Mas, “ jawabku.
“ Nih, aku kasih dua ratus lima puluh ya? “ ujarnya sambil mengulurkan lima lembar uang lima puluh ribuan.
“ Terima kasih, Mas! ” jawabku sembari menyambut pemberiannya.
“ Terima kasih ya, “ lanjutnya lagi. Ia kemudian berjalan ke arah pintu kamar dan membuka kuncinya.
“ Sama-sama, Mas. “
Aku mengerti pertanda itu. Ia tak ingin menghabiskan waktu berlama-lama lagi dengan diriku. Tak ada foreplay, jadi tak perlu bermimpi akan ada afterplay. Aku melangkahkan kaki dan keluar melalui pintu itu tanpa pernah membalikkan badan lagi.
Di hotel ini, sekeluarku dari pintu kamar, kami haruslah seperti dua orang asing yang tak pernah saling mengenal. Di lorong hotel aku berpapasan dengan salah seorang pembersih kamar. Matanya mengarah kepadaku dengan penuh tanda tanya. Aku menanggapinya dengan wajah dingin.
Haruskah aku merasa malu? Sedikit malu masih terselip di dalam lubuk hati terdalam. Rasa itu terbenam dibawah lapisan rasa sedih dan galau. Tak mungkin nasib Julia Roberts dalam Pretty Woman akan menjadi kenyataan dalam hidup gigolo ini.
Aku butuh sayang tapi juga butuh uang.
Bukan di saat yang akan datang tapi sekarang.
Sebelum diriku kehabisan pangan dan mati kekurangan.
Aku hanya kekasih setengah jam.
T A M A T

No comments:

Post a Comment