Setengah jam
berlalu sejak azan maghrib. Di dalam salah satu pondokan di Ledok Ratmakan,
Mbok Sanem sedang melahap makan malamnya. Di ruangan seluas dua kali empat
meter persegi itu Mbok Sanem tinggal bersama Mbah Menir, ibunya dan Suprih,
anaknya, serta tiga teman sekampung. Sesama perempuan buruh gendong di Pasar
Beringharjo. Mbah Menir sedang memijat Suprih yang kelelahan setelah seharian
menggendong barang jualan seberat 80 kg naik turun tiga lantai. Sementara yang
lain sedang tidur-tiduran di atas papan berlapis tikar.
Ini hari pertama Suprih bekerja sebagai buruh gendong. Sejak kecil
Suprih sudah dibawa Mbok Sanem ke pasar. Mbok Sanem mengempitnya, mengeloninya.
Mbok Sanem juga yang memberikan tenggok dan selendang serta mengajarinya
bekerja. Menjadi buruh gendong di Pasar Beringharjo adalah pekerjaan turun
temurun. Bagi buruh gendong seperti mereka, kehidupan adalah apa yang dijalani
setiap hari. Harapan hanya setinggi bisa makan tiga kali setiap hari, bisa
bayar uang WC dan pondokan. Tak peduli beban gendongan 80 kg telah membuat
tulang belakang ngilu. Beban gendongan yang harus dipikul naik turun tiga
lantai dari pasar ke tempat parkir adalah metafora kenyataan betapa berat hidup
buruh gendong perempuan.
“ Wong bisanya cuma nggendong thok, ya seberat apapun harus
dijalani, Nduk. “ ujar Mbok Sanem menyemangati Suprih.
“ Nggendong itu nggak perlu ijazah. Dapat
uangnya biar sedikit tapi cepat dan halal. Yang penting badan sehat, kuat, dan
nggak malu. “
Masa depan bagi seorang Suprih hanyalah menjadi buruh gendong.
Mbah Menir yang sudah berumur sekitar 65-an pun masih terus bekerja. Sebagian
besar hasil menggendong habis untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Mbok Sanem
kadang bisa menyimpan sedikit uang lebih. Tetapi itupun jarang sekali
diperolehnya. Hanya saja Mbok Sanem punya keyakinan sendiri. “ Setiap orang
punya rezekinya sendiri-sendiri,“ kata Mbok Sanem kepada Suprih. Dulu Mbok
Sanem pernah mencoba berdagang tapi malah terlilit hutang. “ Jadi buruh
nggendong biar dapat sedikit tapi rasanya lebih tenteram di hati. Nggak usah
ngoyo. Mungkin nasib kita memang cuma sampai di sini. “
* * *
Suatu siang Suprih yang sedang menggendong sekarung bawang,
berpapasan dengan Lasmi. Lasmi teman sepermainannya dulu di kampung Wates,
daerah Kulon Progo. Lasmi sedang pulang kampung setelah beberapa tahun bekerja
di Jakarta. Ia menyempatkan berbelanja di Pasar Beringharjo untuk melepas
kangen suasana pasar. Sifat Lasmi tetap tidak berubah, tetap ramah dan hangat
seperti dulu. Ia yang menyapa Suprih dulu.
“ Suprih!!,” teriak Lasmi melihat Suprih
yang sedang menurunkan sekarung bawang dari gendongannya. Suprih pangling
melihat cara dandan dan berpakaian Lasmi yang tampak lebih mewah di matanya.
Lasmi memakai kaos dan celana jeans, sementara dirinya hanya mengenakan kain
batik dan kebaya tua lungsuran Mbok Sanem.
“ Kasihan kamu, Prih. Berat sekali
gendonganmu. Apa Simbok dan Simbah masih nggendong juga?, “ tanya Lasmi.
“ Ya Las, sudah turunan. Apalagi yang bisa
dikerjakan selain nggendong. Nggak butuh ijazah tinggi. Yang penting sehat,
kuat dan nggak malu. Yaa biar duitnya sedikit yang penting halal dan cepat
dapatnya, “ jawab Suprih mengulang kata-kata Mbok Sanem.
“ Kamu kok betah toh di sini? Duitnya kan
nggak seberapa. Cepat habis lagi buat hidup sehari-hari. Apa kamu ndak kasihan
sama Simbok dan Simbah yang masih mesti nggendong puluhan kilo di umur setua
itu? Kamu ndak mau ikut aku ke Jakarta? Uangnya lebih banyak lho. Gampang lagi
dapatnya. Seminggu kamu bisa mendapat ratusan ribu. Bisa kamu simpan dan kasih
ke Simbok dan Simbah. Di sini paling kamu dapat berapa sih? Bukan mau ngenyek,
tapi kamu tahu sendiri kerja seperti ini kan kamu ndak bisa pasang tarif
seperti yang kamu mau. Di Jakarta bisa. Di sini dapat uang lebih itu kalau ada
langganan yang bermurah hati saja. Di Jakarta asal kamu kasih
servis lebih, tipnya besar lho. “
Perkataan Lasmi jelas menggoda Suprih untuk mengambil keputusan
pergi ke Jakarta. Suprih benar-benar terlena dengan penjelasan Lasmi. Suprih
juga ingin membantu Simbok dan Simbah. Suprih tidak ingin uang banyak. Uang
banyak belum tentu tenteram. Tapi Suprih juga ingin kaos dan celana jeans.
Suprih ingin melihat Jakarta dan membuktikan di sana ia dapat dengan mudah
mendapatkan uang banyak supaya Simbok dan Simbah bisa hidup tenang di kampung.
“ Memang kamu kerja apa di Jakarta, Las?, “
tanya Suprih dengan polosnya.
“ Eh, ehmm… jadi pelayan Prih. Enak
kerjanya di tempat kayak restoran begitu. “
“ Oohhhh… “
* * *
“ Kamu yakin mau ke Jakarta, Nduk? “ tanya
Mbok Sanem.
“ Iya Mbok. Aku mau cari kerjaan yang lebih
baik supaya SiMbok dan SiMbah nggak usah nggendong lagi. Bisa hidup lebih
tenang di kampung, “
“ Tapi Simbah dan Simbok sudah nrimo kok hidup seperti ini. Kamu ndak usah
repot mikiran Simbok dan Simbah. Kalau hari ini cuma bisa makan nasi pakai
daging syukur. Tapi kalau besok harus makan nasi sama tempe tok ya tetap
bersyukur masih bisa makan. Kalau pun Simbok atau Simbah sakit masih ada Yu
Yatin, Mbah Besur dan Yu Rubiyem yang mau mijetin dan membagi makanan, “ tambah
Mbah Menir.
“ Tapi kalau kamu sudah niat ya nggak
apa-apa. Simbok dan Simbah rela kok. Yang penting kamu bisa jaga diri. Ingat
lho Nduk. Hati-hati di Jakarta banyak orang jahat. Ini ada sedikit uang buat
ongkos berangkat ke Jakarta. Kalau kurang kamu bisa jual kain batik lama punya
Simbah. Lumayan kalau dijual bisa buat nambah ongkos.“
“ Terima kasih, Mbok. Terima kasih ya,
Mbah, “ jawab Suprih sambil meremas tangan Mbah Menir dengan erat.
* * *
Sebenarnya ada sedikit keraguan terbersit di hati Suprih untuk
berangkat ke Jakarta. Restu Simbok dan Simbah justru mengurangi semangatnya.
Ada perasaan tidak enak mengganjal di hatiya. Tetapi Suprih sudah mengambil
keputusan dan sekarang sudah sampai di Jakarta bersama dengan Lasmi. Lasmi akan
membawanya ke pondokan tempat Lasmi tinggal dan mengenalkannya kepada Mami
pemilik pondokan itu.
“ Prih, ini Mami yang akan menampung kamu
kerja di sini. Mam, ini Suprih yang saya ceritakan itu, “ kata Lasmi
menjelaskan kepada Mami.
“ Wah cantik seperti putri Solo. Eh, tapi
kamu bukan putri Solo ya tapi putri Yogya. Ya sudah Las, nanti malam kamu
pinjamin dulu baju kamu. Sekarang si Suprih dipotong dulu saja rambutnya. Bikin
model shaggy biar cantik seperti Alya Rohali. Sana
ajak Suprih ke salonnya Andri. Oh ya minta Andri melulur Suprih sekalian biar
wangi. Nanti malam ada tamu penting datang. Kamu juga kalau mau lulur boleh
Las. Biar Mami yang bayar nanti. Suprih nanti malam kamu mulai kerja ya?! Biar
bisa cepat kirim uang untuk Simbok dan Simbah kamu di Yogya. “
“ Ya Bu, “ jawab Suprih sambil tersenyum.
Suprih senang. Seumur-umur ia belum pernah masuk salon.
Sementara dilulur, Suprih merasa bersalah. Suprih teringat Mbah
Menir yang suka memijat dirinya kalau ia tampak lelah. Suprih jarang memijat
Mbah Menir yang justru lebih sering minta dipijat sama Mbah Besur. Sementara
rambut Suprih dipotong, teringat ia saat Mbok Sanem mengurus rambutnya yang
panjang mencapai pinggang. Biasanya Mbok Sanem yang mengoles rambutnya dengan
kemiri atau santan. Rambutnya jarang dipotong. Cukup digelung saja. Ada rasa
sedih karena kangen akan suasana di pondokan. Padahal ia belum lagi sehari
menjejakkan kaki di Jakarta.
Tetapi bayangan penampilan baru Suprih yang tampak di cermin
segera menghapus kesedihan itu diganti dengan seulas senyum di wajahnya.
Terhapus sudah rasa kangen itu dengan rasa kagum akan kecantikan dirinya
sendiri. Suprih tidak menyangka ia bisa secantik ini hanya dengan model
potongan rambut yang baru. Padahal ia masih mengenakan blus dan rok tua yang
diberikan anak perempuan pedagang besar tempat ia bekerja.
“ Wah, kamu jadi tampak cantik sekali Prih!
“ ujar Lasmi berseri-seri melihat hasil temuannya. Sudah terbayang di benak
Lasmi bonus besar dari Mami karena berhasil membawa primadona baru dari kampung
yang akan menambah pemasukan Mami. Suprih hanya tersenyum malu-malu. “ Mami
pasti senang melihat penampilan kamu yang baru. Ayo kita pulang dan pilih baju
yang akan kamu pakai nanti malam. Andri, terima kasih ya. Ongkosnya nanti minta
sama Mami saja. “
“ Oke deh kakak. Nanti akika minta sama
Mami,” jawab Andri manja.
* * *
“ Kamu pakai yang ini saja, Prih! “ kata
Lasmi sambil menyodorkan sebuah gaun terusan hitam tanpa lengan. “ Sepatunya
pakai yang hitam saja. Biar serasi.”
Suprih melepas kemeja dan roknya. Menggantinya dengan gaun hitam
itu. Ada perasaan aneh terbersit di hatinya. Gaun ini sangat terbuka sampai
bahu, punggung, lengan dan sebagian belahan dadanya terlihat. Ada rasa risih
dan malu mengenakan gaun hitam itu. Dalam hati Suprih bertanya restoran seperti
apakah yang pakaian pelayannya seperti ini?
“ Sekarang kamu ke sini biar aku dandanin.
“
Suprih berjalan kaku dalam sepatu dengan hak setinggi 9 cm. Suprih
melihat bayangan dirinya sendiri yang bertambah tinggi di dalam cermin. Ada
rasa bangga melihat dirinya terlihat seperti perempuan di dalam majalah di
salon.
“ Nanti nama kamu diganti dulu jadi Shanti.
Biar keren seperti penyanyi Shanti. Ingat ya Shanti. Jadi jangan lupa pas
dipanggil,“ ujar Lasmi sambil memoles wajah Suprih. “ Jangan lupa tersenyum.
Kalau jalan yang anggun. Nanti aku tunjukkan sama kamu. Nah, beres sudah make up-nya. Nah, begini lho
jalannya. “ Lasmi memperagakan cara berjalan yang anggun seperti kucing. “
Sekarang kamu coba! “
Suprih pun mencoba melangkahkan kaki seperti kucing dengan sepatu
haknya yang tinggi itu. “ Masih agak kaku, tapi ya sudahlah. Nanti lama-lama
kamu juga bakal terbiasa. Sekarang ayo kita berangkat. Mobil jemputan sudah
menunggu. “
Mobil itu membawa Suprih, Lasmi dan teman-teman barunya ke kawasan
Kota. Restoran itu remang-remang suasananya. Suprih disuruh menunggu bersama yang
lain sambil memegang kartu dengan nomor 18 dalam sebuah ruangan dengan kaca. Di
dalam ruangan itu Suprih bisa melihat di ruangan sebelah beberapa lelaki sedang
melihat-lihat ke arah mereka. Seorang lelaki rapi berkulit putih agak gemuk
melihat kepadanya terus.
“ Shanti kamu ke sini! “ panggil Mami.
Suprih berjalan ke ruangan sebelah tempat Mami dan lelaki itu berdiri. “ Shanti
kamu temanin Bapak ini ya! Pak Tommy kenalkan ini Shanti. Shanti ini pak Tommy.
Ayo salaman Shanti. Maaf Pak, Shanti masih baru di sini jadi masih malu-malu.
Silahkan Pak, kamarnya nomor 501“
Lelaki itu menggenggam tangan Suprih dan menggandengnya menuju
kamar bernomor 501. Ada tempat tidur di sana. Lelaki itu mengajak Suprih
mengobrol. Tetapi pikiran Suprih melayang ke pasar Beringharjo. Bayangan Simbok
dan Simbah menggendong karung seberat 50 kg berjalan menuruni tangga pasar. Ada
rasa berontak di dalam hatinya saat lelaki itu mulai membuka pakaiannya.
Terngiang suara Simbok dan Simbah di benaknya, “ Tapi SiMbah dan
SiMbok sudah nrimo kok hidup seperti ini. Kamu ndak usah repot mikiran Simbok
dan Simbah. Kalau hari ini cuma bisa makan nasi pakai daging syukur. Tapi kalau
besok harus makan nasi sama tempe tok ya tetap bersyukur masih bisa makan.
Kalau pun Simbok atau Simbah sakit masih ada Yu Yatin, Mbah Besur dan Yu
Rubiyem yang mau mijetin dan membagi makanan. Yang penting kamu bisa jaga diri.
Ingat lho Nduk. Hati-hati di Jakarta banyak orang jahat. “
Air matanya mengalir saat lelaki itu mulai menggauli tubuh Suprih.
Teringat kata-kata Lasmi. “ Apa kamu ndak kasihan sama Simbok dan Simbah yang
masih mesti nggendong puluhan kilo di umur setua itu? Uangnya lebih banyak lho.
Bisa kamu simpan dan kasih ke Simbok dan Simbah supaya mereka nggak harus
nggendong terus. Seminggu kamu bisa mendapat ratusan ribu. Di Jakarta asal kamu
kasih servis lebih, tipnya besar lho. “
Keringat lelaki itu bercampur dengan air mata Suprih. Suara Simbok
kembali terngiang di kepala Suprih. “ Nggendong itu nggak perlu ijazah. Dapat
uangnya biar sedikit tapi cepat dan halal.”
* * *
Sementara itu di pondokan Mbok Sanem di Ledok Ratmakan.
Praanggg……
Terdengar suara gelas pecah akibat Mbok Sanem menyenggolnya tanpa
sengaja sampai jatuh. “ Aduh ada apa ya sama Suprih ya Mbah? Aku takut ini
pertanda buruk. “
“ Sudah kita berdoa saja supaya Suprih
selamat. Dia kan berangkat dengan niat baik, “ harap Mbah Menir.
TAMAT
No comments:
Post a Comment