Food Give No Barrier To Mankind
That's what they said. But I dont think I feel that all the times.
Jadi kisahnya begini. Saya memiliki seorang kenalan. Saya kira awalnya karena sama-sama menghadapi periode kegelapan, saya akan tetap memiliki seorang sahabat. Tapi rupanya masa-masa itu sudah berlalu. Hanya satu yang masih tertinggal saat semuanya melejit dan saya masih merangkak pelan.
Satu waktu kenalan itu mengajak saya untuk makan malam di restoran Thai kecil yang nikmat dekat rumah kami. Saya bermaksud membalas kebaikannya dengan mengirimkan Klappertaart buatan saya untuk keluarganya. Karena dulu saya masih sering berbagi Klappertaart dengan ibunya. Tapi jawaban yang mengecewakan saat saya mengeluhkan betapa susah untuk mengubunginya, "Gua kan nggak minta!". Sakitnya tuh di sini. #tunjukdada
Sekali waktu, berkenaan dengan kenalan yang sama, mengatakan akan memesan bronis untuk perusahaan tempatnya bekerja. Saya mengirimkan penawaran. Tapi tak ada kabar. Saya hubungi tak ada jawaban. Saya menanti-nanti dengan harap. Akhirnya setelah sekian lama ternyata jawabannya pun hanya menghasilkan kekecewaan.
Sekali waktu kenalan itu mengisyaratkan ingin carrot cake buatan saya berdua untuknya dan teman lamanya. Saya tanya kapan, dia hanya menjawab kapan saja. Oke saya bermaksud membuatnya saat setelah Lebaran, berdekatan dengan ulang tahunnya. Saaat itu beliau menjelaskan ongkosnya akan dibagi berdua dengan teman lamanya. Saya tidak bermaksud menagih bagian yang akan ditanggungnya. Tapi entah bagaimana rupanya bagian yang akan ditujukan kepada teman lamanya itu rupanya tidak jadi dibayarkan. Saya sungguh sangat amat kecewa. Dia menyangka kue yg dibagi dua itu gratis juga untuk teman lamanya yang bahkan saya tidak kenal.
Saya memang kadang suka membagikan kue gratis, tapi tentu untuk orang yang saya kenal saja. Dengan tujuan untuk mempromosikan kue buatan saya kepada teman dan kerabatnya. Orang yang tak saya kenal tidak saya beri sampel kue gratis. Karena saya tahu tidak berguna membuang-buang uang untuk orang tidak dikenal. Kue saya takkan dihargai, hanya dianggap taken for granted.
Dan benar saja, setelah dengan berat hati merelakan pembayaran yang menguap, teman kenalan saya tak pernah memesan kue saya, atau merekomendasikan kue saya kepada relasi yang lainnya. Melihatnya dalam list mutual friend hanya terus membangkitkan ingatan menjengkelkan itu. Sehingga akhirnya saya delete saja demj ketenangan batin.
Dan puncaknya adalah saat beliau ini tetiba ingin nemesan kue berukuran satu kali satu meter. Saya kemudian menghitung, berapa banyak volume resep yang dibutuhkan. Kue berbentuk kotak yang proporsional tentu butuh bahan lebih banyak daripada sebuah kue berbentuk bundar. Saya bertanya berapa banyak undangan yang akan hadir. Dia menjawab sekitar 100 orang. Saya coba menawarkan ukuran yang lebih kecil, 60x60cm. Bukan saya tidak mampu mengerjakan ukuran 1x1 meter. Tapi inisiatif saya menawarkan ukuran lebih kecil, bukan saja karena saya merasa jika saya menawarkan seukuran 1x1 m akan menjadi terlalu mahal. Ditambah saya merasa kue berukuran semeter akan membuang-buang sisa kue yang tidak termakan.
Kue berukuran satu meter paling sedikit membutuhkan 9 volume resep, tapi itu pun akan membuat kuenya terlihat cebol. Akan terlihat sangat aneh jika dipaksakan. Pasti akan butuh setidaknya 12 volume resep yang biasa. Dan itu berarti harga yang makin tinggi. Ternyata beliau menawarkan ukuran 50x50cm saja. Saya menyanggupi. Dia menayakan harganya, saya jawab. Tak ada kabar.
Tetiba satu malam, masuk pesan darinya, "Lu belum beli bahan, kan?"
Saya tahu itu sinyal tidak jadi memesan. Saya terlanjur kecewa, saya jawab "belum".
Lebih kecewa lagi saat tahu lokasi dan betapa besar lokasi tempat acara berlangsung. Saya terlalu lugu berharap dia akan berjuang untuk kue buatan saya yang harganya tak sampai harga dua pax all you can eat di lokasi tempat berlangsungnya acara, akan dipesan. Ditambah olok-olok tentang kue kudapan saya oleh seorang hater. Saya yang diundang dalam acara tersebut berusaha nenahan rasa sedih, tidak berharga, gagal. Tapi akting wajah penuh senyum bahagia itu mudah kok.
Saya memutuskan saya harus melanjutkan hidup. Mencari pertemanan baru. Saya tahu sudah saatnya mundur dari panggung kehidupan mereka.
Saya lelah, saya menyediakan waktu, tenaga, jiwa dan hati saya untuk membuat kue demi menghargai pertemanan, tapi saya tidak mendapatkan compassion yang sama. Kesannya memang berpamrih ya. Saya hanya ingin merasa dihargai.