Masih terkenang dalam benak Doni malam itu, seorang
diri mengendarai mobil di tengah sepinya jalan protokol ibukota. Suara penyiar
radio mengalun di udara menemaninya dalam perjalanan pulang dari kantor. Kebiasaannya
mendengarkan radio tersebut akibat tertular kebiasaan Rosa, sang istri. Malam
itu penyiar radio favorit Rosa sedang berbagi cerita dengan para pendengarnya. Dibacakannya
pesan-pesan yang masuk. Seorang pendengar mengirim berita bahagia akan kehamilan
yang sekian tahun ditunggunya. Pendengar lain menyatakan cinta untuk sang suami
yang membantunya mengalahkan kanker. Tanpa sadar mata Doni pun mulai berkaca-kaca.
Diraihnya ponsel dan ditekannya nomor telepon radio tersebut.
* *
*
Masih terkenang dalam benak Rosa malam itu, malam
terakhir ia dan Doni bersama berdua. Malam itu Rosa akan berangkat ke Surabaya
untuk tugas kantor selama 3 bulan. Dengan terbentangnya jarak secara fisik,
akankah Rosa menjadi semakin asing bagi Doni? Doni sempat menyatakan
kekuatirannya akan kehilangan Rosa. Akhir-akhir ini Doni merasa istrinya itu
makin terpaut jarak di dalam hati. Meskipun seranjang setiap malam, tetap saja Doni
terasa tak pas di hati Rosa. Doni memeluk tubuh Rosa erat dan mengecup kedua
pipinya. Entah mengapa ia merasa akan kehilangan Doni.
“Kamu masuk saja, Say. Daripada nanti tergesa-gesa,”
pinta Doni kepadanya untuk masuk ke ruangan boarding.
“Aku
pergi dulu ya, Mas. Mas jaga diri baik-baik.“ balas Rosa sembari membalas
mengecup kedua pipi Doni. Rosa segera berbalik, berjalan sambil menarik kopor. Rosa
yang sedikit gelisah, merasa ingin segera saja berlalu meninggalkan Doni. Ia
sudah tak sabar tiba di Surabaya. Doni pun merasakan kegelisahan Rosa. Ini kali
pertama lewat dua tahun pernikahan mereka, Rosa harus pergi sekian lama
meninggalkan Doni sendiri.
* *
*
Masih terkenang dalam benak Rosa malam
itu, malam pertama kali mereka bertemu. Rosa mengenal Doni karena perjodohan
kedua orang tua mereka. Semula Rosa tidak terlalu antusias dengan perjodohan
itu. Dikenakannya gaun terusan hitam tanpa lengan. Dengan kalung emas putih
menghias leher jenjangnya serta sepasang anting mutiara bergantung di kedua
daun telinganya. Dalam kesederhanaannya, Rosa ternyata malah memikat Doni.
“Hai,
aku Doni,” serunya sambil mengulurkan tangan kepada Rosa.
“Aku
Rosa,“ ujar Rosa dengan memasang wajah dihiasi senyum terpaksa sembari
menyambut uluran tangannya.
Sejak saat
itu Doni jadi sering mengunjungi rumahnya. Menjemput Rosa pulang dari kantor.
Mengajaknya makan malam berdua. Menemaninya berbelanja. Mengajaknya menonton
film di bioskop. Doni dengan senang hati melakukan semuanya untuk
Rosa. Ia berusaha untuk merengkuh hati Rosa. Doni ingin mendapatkan cintanya.
Semua terasa berjalan begitu alami bagi Doni.
Sementara buat Rosa sendiri semua ini dijalaninya dengan sikap terbuka hanya
untuk menyenangkan hati orang tuanya. Rosa berusaha membalas perlakuan Doni kepadanya
dengan kehangatan. Meski ada perbedaan diantara mereka, bagi Doni hidup terasa
begitu sempurna. Tapi lain halnya dengan Rosa. Doni terlalu bahagia hingga tak
menyadari apa yang akan dihadapinya karena masa lalu Rosa. Dalam hati Rosa
masih terdapat ganjalan karena cerita cinta masa lalunya. Tak disadari Doni
betapa kuat cinta masa lalu Rosa.
Pikir Doni, "Aku telah berhasil mendapatkan
cinta Rosa."
* *
*
Masih terkenang dalam benak Rosa malam itu, saat Doni
melamar dirinya menjadi pendamping hidupnya.
“Ros,
maukah kau menjadi istriku?“ tanya Doni kepadanya dengan penuh harap.
Rosa
terdiam sejenak karena terkejut. Keraguan sempat terbersit dalam hatinya
sebelum ia kemudian memutuskan untuk menjawab, “Ya, aku mau.“
“Terima kasih, Ros. Terima kasih.” Hanya itu yang
sanggup keluar dari bibir Doni. Lanjutnya lagi,"Aku menyayangi dan
mencintaimu, Ros." Tak dapat disembunyikan Doni rasa bahagia yang meluap.
Sepanjang sisa malam itu raut muka Doni tersenyum-senyum lebar seperti orang
gila.
Bulan
kesepuluh hari ketujuh di tahun kedua sejak pertemuan pertama mereka, pesta
pernikahan pun dilangsungkan. Tak dapat disangkal betapa wajah keempat orang
tua mereka begitu berbinar saat pesta berlangsung. Tetapi raut wajah Rosa
sendiri tak begitu berbinar. Pikir Doni mungkin akibat kelelahan dengan
serangkaian prosesi adat. Seandainya Doni tahu alasan yang sebenarnya dibalik
itu. Hati Rosa sedikit merasa galau. Terbayang dalam benak Rosa, semestinya bukan
Doni dan kedua orang tuanya yang berada di pelaminan bersamanya. Seharusnya
lelaki lain, cinta dari masa lalunya.
* *
*
Masih terkenang dalam benak Rosa
malam yang penuh kegelisahan itu. Sudah dua tahun berjalan sejak hari
pernikahan mereka. Dinyalakannya radio lewat ponselnya. Diarahkannya tune ke gelombang radio satu kelompok
dengan radio yang biasa didengarkannya di Jakarta. Acara radio kesukaannya itu disiarkan
langsung di lima kota besar, termasuk Surabaya. Kali ini ia membulatkan tekad
untuk menghubungi sang penyiar radio, Budi Dalian, untuk mecurahkan isi
hatinya.
“Malam ini kita mendapat pengakuan yang jujur dari
salah seorang pendengar yang tengah berada di Surabaya untuk urusan kantor.”
Suara Budi penyiar yang mengasuh acara radio tersebut mulai berkumandang di
udara. "Saya di studio sebenarnya terkejut dengan pengakuannya. Itulah
sebabnya saya memutuskan untuk mengangkat kisahnya. Di ujung telepon sudah ada,
ehm kita sebuat saja namanya, Mawar. Mari kita dengarkan kisahnya. Mawar, sudah
berapa lama menikah?“ lanjut Budi
“Sudah
dua tahun, Bud,” jawab suara wanita di ujung Surabaya.
Sementara
Doni pun turut mendengarkan acara radio yang sama di Jakarta sembari
mengendarai mobil dalam perjalanan pulang dari kantor. Doni sedikit terperanjat
mendengar kemiripan suara wanita itu dengan suara Rosa. Namanya pun memiliki
arti yang sama meski berbeda bahasa. Mungkin hanya kebetulan, batin Doni. Tapi
ini sudah dua kebetulan kemiripan. Hatinya mulai gelisah.
“Di Surabaya, Mawar bertemu kembali dengan cinta
pertama yang tidak direstui orang tua karena perbedaan suku. Berapa lama dirimu
sempat menjalin hubungan dengan pria ini, Mawar?“
“Tujuh
tahun, Bud.“
Kebetulan yang ketiga dan
keempat membuat hati Doni terpukul. Meski ia tak tahu dimana mantan kekasih
Rosa saat ini. Tapi sepengetahuannya Rosa pernah menjalin hubungan selama tujuh
tahun dengan mantan kekasihnya itu. Ia juga mengetahui kalau hubungan masa lalu
itu tak direstui orang tua Rosa karena perbedaan suku. Makin yakinlah Doni
kalau penelepon di radio itu sebenarnya Rosa, istrinya.
“Dan pendengar,
Mawar bertanya apa sebaiknya ia menyudahi pernikahannya untuk bersatu dengan
cinta lamanya? Atau tetap melanjutkan pernikahan ini? Benar begitu, Mawar?”
“Betul,
Bud. Sejak awal, aku tak merasakan cinta terhadap suamiku. Aku berusaha menjalaninya
dengan harapan siapa tahu rasa cinta akan tumbuh dengan sendirinya, tapi
kenyataannya tak berubah juga. Aku menikahinya untuk alasan yang salah,
menyenangkan orang tua kami. Aku sadar dirinya itu lelaki baik-baik. Aku
berusaha membalasnya dengan melakukan kewajiban sebagai seorang istri. Tapi hatiku
masih terisi dengan cinta masa laluku. Kalau aku menyudahi pernikahan ini, tentu
aku akan menyakiti suami yang mencintaiku. Tetapi apa pernikahan ini masih
layak dilanjutkan, Bud? Tak adil rasanya untuk suamiku. Aku menjadikannya
korban.“
Doni
terkejut mendengarkan pengakuan itu. Setelah semua yang dilakukannya untuk Rosa
ternyata tak mampu mendapatkan cintanya. Hatinya pedih karena terluka. Matanya
kembali berkaca-kaca. Tiba-tiba Doni merasakan tekanan yang luar biasa
menerjang sekujur tubuhnya. Segera kegelapan yang pekat menyelimuti Doni.
* *
*
Masih terkenang siang itu, Rosa
turun dari mobil bersandar di bahu mantan kekasihnya. Matanya bengkak dan
sembab.
“Apa air mata Rosa itu
benar-benar untukku”, batin Doni. Pedih hati Doni menyaksikan semua itu tanpa
bisa berbuat apa-apa. Sementara pria itu duduk di samping Rosa, disaksikannya
Rosa terisak-isak di depan peti matinya.
Dalam hati Rosa mengucap, "Maafkan aku, Mas.
Aku baru sadar ternyata cintaku sudah bertumbuh setelah kehilanganmu. Maafkan
aku."
Semalam sebelumnya.
Suara Budi memberitakan, "Pendengar ternyata
di jalan protokol di depan gedung kami telah terjadi kecelakaan. Sebuah mobil
sedan putih tersambar sedan lainnya berwarna merah."
Di ujung Surabaya sempat tak
juga terbersit kelegaan sesaat setelah ia mencurahkan kegelisahan hatinya.
Diletakkannya gagang telepon.
“Miao!”
Tiba-tiba muncul seekor kucing hitam menatap Rosa
tajam sambil berdiri di depan jendela mengejutkan dirinya yang sedang duduk
menerawang ke jendela.
“Ah, siapa lagi yang meninggal?” tanya Rosa.
Batinnya pun bertambah gelisah.
Terdengar suara Budi kembali, “Mari kita lanjutkan
acara dengan membacakan pesan yang masuk. Doni di Jakarta ingin mengirimkan
ucapan rindu dan I love you untuk
sang istri yang sedang bertugas di Surabaya.”
Tamat
Cerpen ini saya tulis beberapa tahun lalu. Terinspirasi dari kegemaran saya mendengarkan acara di malam hari yang dibawakan oleh penyiar radio favorit saya Rudi Dahlan di radio Female.
No comments:
Post a Comment