Perkenalkan, namaku Tommy. Umurku 34 tahun. Hobiku
mengintip. Ya, mengintip telah menjadi kegemaranku sejak di akhir bangku
sekolah dasar. Entah mengapa aku begitu terpikat untuk mengintip di balik
pakaian yang dikenakan seorang perempuan. Mungkin disebabkan tubuh perempuan
itu berbeda dengan tubuhku sendiri sebagai seorang lelaki. Tubuh perempuan
terlihat begitu misterius sekaligus menggoda. Saat aku masih berusia
kanak-kanak, teman-temanku perempuan membungkus tubuhnya dengan kaos singlet
dan miniset dibalik pakaian luar. Anehnya daerah selangkangan mereka
hanya tertutup oleh selapis kancut. Menarik, kan? Jika menurut sabda John
Mayer, ‘your body is a
wonderland’, maka aku
mengaminkannya dengan sepenuh hati dan jiwa. Tubuh seorang perempuan itu seakan
taman bermain yang selalu memikat mataku untuk mengintip dari balik busana yang
dikenakannya.
Ada sebuah ungkapan dari orang-orang tua jaman
dahulu. Kalau mata ini bintitan itu karena suka mengintip. Apa aku percaya itu?
Tentunya tidak! Entah telah berapa kali aku mengintip, pengalaman mataku
terserang bintitan tak lebih dari dua kali sepanjang ku hidup. Aku yakin
ungkapan itu hanya untuk menakut-nakuti anak-anak supaya mereka tidak mengintip
dari balik rok anak perempuan atau bahkan menyingkapkan rok mereka. Betapa
bodoh dan penakutnya anak-anak yang percaya akan hal itu. Dan seringkali mereka
justru terserang bintitan setelah mengintip hanya karena sugesti saja. Bah, aku
bukan orang yang takut dan kuatir terhadap penyakit seperti mata bintitan.
Seandainya aku memang termakan oleh kepercayaan
mata bintitan karena mengintip, mungkin aku tak akan bisa menjadi tukang intip
profesional seperti saat ini. Ya, aku berani menyebut diriku pengintip
profesional karena aku tidak setengah-setengah melakukan hobiku mengintip. Dan
aku tak pernah sekalipun tertangkap basah karena hobiku ini. Ini hobiku, dan
aku sangat mencintai melakukannya. Aku tak puas jika hanya melihat tubuh
seorang perempuan telanjang begitu saja di depan mataku. Aku lebih suka
mengintip karena tubuh seorang perempuan terasa lebih misterius. Aksiku
mengintip membuat adrenalin meningkat. Itulah sebabnya aku menjadi kecanduan
mengintip.
Mengintip memberikanku pengalaman orgasme yang
berbeda. Aku bangga dengan aksi mengintipku. Karena tidak semua lelaki mampu
melakukan apa yang kulakukan. Dan tidak semua lelaki mampu melihat apa yang
sudah pernah kulihat sepanjang umur hidupku. Jika saja setiap perempuan yang
kuintip bisa bunting, maka aku pastilah mampu menciptakan bukan hanya rekor
dunia tapi satu suku bangsa sendiri. Semua itu karena sudah tak terhitung lagi
berapa banyak jumlah perempuan yang sukses kuintip.
Awalnya aku belajar mengintip dengan menjatuhkan
pensil dari meja tulis di dalam kelas. Untuk meraih kembali pensil yang
terjatuh, tentu aku harus membungkukkan tubuhku. Saat membungkukkan tubuh
itulah aku mencuri kesempatan mengintip dengan sedikit menolehkan pandangan
mataku ke arah bangku di belakangku. Di deretan bangku belakang seringkali
tanpa sadar anak-anak perempuan itu mengangkangkan kedua kaki lebar hingga
terungkaplah apa yang ada di dalam rok mereka. Kondisi itu membuatku leluasa
memandangi paha mulus dan celana dalam mereka yang berwarna-warni serta beragam
motif. Semakin sering kulakukan aku semakin pandai menyamarkan, mempersingkat
waktu sekaligus memperluas jangkauan pandangan mataku. Dalam sekali pindai saja
aku mampu mengetahui motif dan warna kancut dari setidaknya selusin anak
perempuan di kelasku.
Seiring waktu tentu saja bukan hanya kemampuan
tetapi juga teknik mengintipku semakin meningkat dan beragam. Jika
teman-temanku lelaki hanya meletakkan rautan bundar yang memiliki cermin pada
salah satu sisinya, maka apa yang kulakukan selangkah lebih maju dari yang
mereka kerjakan. Aku akan membongkar rautan tersebut supaya aku mendapatkan
cermin bundar itu. Lalu aku akan menempelkan potongan cermin bundar yang
kuambil dari rautan pensil pada ujung sepatuku. Saat kulangkahkan kaki di
belakang mereka, kuarahkan ujung sepatuku ke bawah rok murid perempuan yang ada
di depanku. Aksi yang mendebarkan itulah yang membuat mengintip lebih menarik
dan menantang.
Saat dewasa aku mulai gemar mengintip di tempat
umum, seperti di dalam bus yang selalu kutumpangi setiap kali pergi dan pulang
bekerja. Tak ada yang lebih menarik di pagi hari saat berangkat kerja
menyaksikan wanita pekerja mengenakan rok mini berdiri atau duduk dengan
gelisah karena mengetahui tungkai mulusnya sedang menjadi sasaran pandangan
lelaki-lelaki lainnya di dalam bus.
Dulu aku sempat menyesali perawakanku yang
tergolong pendek untuk ukuran pria pada umumnya. Karena perawakanku yang pendek
ini aku pernah beberapa kali ditolak sejumlah gadis cantik yang kusukai. Bukan
kebetulan kalau gadis-gadis itu memiliki perawakan yang lebih tinggi dariku
saat di bangku SMA dulu. Tapi aku berhasil membalaskan sakit hatiku dengan
mengkonfirmasi warna dan motif celana dalam yang sedang dikenakan mereka setiap
hari berturut-turut selama seminggu. Mereka tentulah merasa malu dan kesal.
Beberapa dari mereka berusaha melaporkanku ke wali kelasnya. Tapi karena tidak
ada satupun bukti, aku lolos dari hukuman.
Sekarang aku justru bersyukur dengan ukuran
tubuhku yang mungil ini. Di dalam bus aku dengan leluasa mengintip buah dada
terbungkus kutang menawan dari sela-sela kancing kemeja yang terpampang tepat
di depan wajahku. Saat bis berguncang, seringkali wajahku terbanting pada
payudara mereka. Saat kejadian mereka tampak malu karena seringkali hantaman
buah dada mereka sempat membekap hidungku. Tapi aku justru menikmatinya. Saat
mereka minta maaf aku hanya mesam mesem mesum. Aku yakin 100% kalau ide
bantalan udara kembar pada mobil itu diperoleh dari kondisi yang kualami oleh
seorang berperawakan pendek seperti diriku.
Bis bukan hanya satu-satunya lokasi sasaranku
mengintip. Aku pernah mengintip di toilet umum. Tentu saja menggunakan kaca
rautan andalanku yang selalu siap sedia di dalam dompetku. Seringkali aku
mengintip melalui lubang ventilasi. Aku sanggup berdiam diri lama menanti
korbanku. Semua itu kulakukan supaya diriku tak tertangkap basah sedang mengintip.
Kadangkala aku memberikan tip cukup besar kepada para penjaga sehingga mereka
percaya dan mengira kalau diriku adalah lelaki terhormat. Aku juga pernah
mengintip di kamar ganti pakaian di sejumlah pusat perbelanjaan. Tentu di
lokasi semacam itu aku tak dapat menggunakan cermin rautan lagi.
Ya, teknologi yang kugunakan untuk mengintip tak
hanya.teknologi primitif seperti cermin rautan. Seiring dengan perkembangan
teknologi aku memperlengkapi hobiku dengan perlengkapan berupa gadget paling
mutakhir. Mulai dari yang sederhana seperti ponsel berkamera, kamera berukuran
super kecil, binokular hingga bolpen berkamera. Sebut saja aku pasti
memilikinya. Lengkap dan bukan hanya satu tapi dua buah dari setiap jenisnya.
Kenapa dua? Karena jika yang satu rusak, aku masih memiliki cadangan. Sekarang
tentu kalian mengerti mengapa aku menyebut diriku pengintip profesional.
Seringkali aku mengarahkan kamera ponsel ke bawah
rok mini mereka yang kebetulan berdiri di depanku. Di dalam bus saat jam sibuk,
pemandangan penumpang yang berdiri berdesak-desakan merupakan kesempatan emas
untuk mengintip di balik rok mini para wanita karir itu. Satu waktu kudapati
seorang wanita ternyata tak mengenakan kutang dibalik blouse yang
dikenakannya. Aku menyadarinya saat kuintip dari sela-sela kancing bajunya.
Pantas saja buah dadanya yang berukuran besar berguncang-guncang sedemikian
rupa setiap kali bus berhenti. Aku berhasil mengabadikan salah satu buah
dadanya dengan berpura-pura menelepon. Lain waktu pernah kudapati sekali seorang
gadis ternyata tak mengenakan kancut, hingga terungkaplah pemandangan
menggiurkan itu.
Saat itu dalam hatiku aku langsung bersorak
haleluya! Rupanya fenomena gadis-gadis harajuku itu telah mampir juga di
Jakarta. Aku mengetahui fenomena ini dari sebuah majalah fesyen dan film Babel
yang kutonton. Aku berdoa semoga fenomena ini semakin fashionable di
kalangan gadis-gadis Jakarta.
Dan doaku terjawab. Meski aku tak yakin kalau
Tuhan akan menjawab doa orang seperti diriku. Tapi bisa jadi Tuhan sedang bermain-main
denganku.
Siang itu dalam salah satu bus Transjakarta dari
arah Kota aku sedang menuju ke Blok M. Di halte Monas masuklah seorang gadis
tinggi semampai. Tubuhnya indah dengan lekuk yang sempurna. Langkah kakinya
begitu percaya diri, layaknya seorang model yang sedang berjalan melenggang di
atas catwalk. Saat itu bus sedang dalam keadaan sepi penumpang. Gadis
itu menghempaskan tubuhnya di bangku persis di seberang bangku yang kutempati.
Gadis itu memiliki kulit kuning langsat mulus. Rambut berona pirang kecoklatan
menambah kesan kecantikan eksotik pada raut mukanya yang terlihat sangat
Indonesia. Gadis itu mengenakan rok mini. Ia kemudian duduk bersilang kaki.
Tungkainya terlihat begitu sempurna bagai model iklan stoking di majalah.
Kamipun bertemu pandang. Tatapan matanya begitu
menantang. Aku tersipu malu-malu kuda. Tapi kupandangi juga tungkai jenjangnya
itu. Kuangkat pandangan mataku. Sembari memandang wajahku, gadis itu mulai
menjilat dan menggigit bibirnya. Jantungku makin berdebar kencang. Ia meluruskan
kakinya, kemudian perlahan merenggangkan kedua lutut kakinya. Rok yang
dikenakannya mulai tersingkap. Adrenalinku mulai memuncak. Tanpa sadar keringat
dingin mulai membasahi keningku.
Sesaat tampaklah bagian dalam roknya, aku segera
mengangkat wajahku. Gadis itu tersenyum licik dan sinis kepadaku. Sementara aku
hanya sanggup tersenyum kecut. Aku segera mengalihkan pandanganku dari
wajahnya.
Sialan! Ternyata gadis itu memiliki buah zakar.
* *
*
Cerpen ini salah satu cerpen lama yang berusaha saya dokumentasi ulang semenjak komputer terkena bocoran air. Diposting ulang disini sebagai upaya dokumentasi dari sekian cerpen yang pernah saya tulis dan berhasil saya selamatkan dari sela-sela dokumentasi surel yang pernah terkirim dari salah satu akun lama saya.
No comments:
Post a Comment