Monday, March 20, 2017

DIET DHUAFA

Teringat masa-masa sulit. Makan harus hemat. Sepeninggal ayah, saya diharapkan jadi tulang punggung keluarga. Tapi saya masih tertatih-tatih.

Satu waktu seorang kenalan baru bertanya," Sudah makan, belum?"
Saya jawab, "Belum."
Dia bertanya kembali, " Kok belum makan dari siang?"
Saya jawab, "Tadi siang sudah, makan risol dua."
Dijawab dengan lertanyaan lagi darinya, "Kamu lagi diet ya?"
Saya menjawab, "Iya, diet dhuafa."

Ya, saat-saat uang tak seberapa saya harus memutar otak bagaimana supaya uang lima belas ribu di tangan cukup untuk memberi makan tiga mulut untuk setidaknya dua kali makan dalam sehari.

Untunglah ada warung nasi padang yang menjual lauk dan sayur yang cukup seporsinya untuk dibagi bertiga. Ada gerai nasi liwet yang menjual seporsi sayur labu nikmat seharga 15ribu. Ada penjaja jajanan kue tiap pagi yg dengan 10rb cukup utk membeli 15 potong kue jajanan pasar.

Untuk harga 25rb saya bisa mendapatkan martabak telor yg nikmat buatan alumni martabak pecenongan. Atau sekbak (non halal) dengan potongan daging yang lumayan berlimpah.

Semua yang saya sebutkan ini cukup untuk kami bertiga di rumah. Adik saya karena berkantor jadi jarang makan di rumah.

Ya masa-masa pahit manis yang terkadang masih dialami hingga saat ini. Bulan-bulan seperti Maret dan April di mana pesanan kadang begitu minim. Semoga Tuhan memberi saya kekuatan melewati semua ini. Amin.

Sunday, March 19, 2017

CABE ATAU CABAI ATAU LOMBOK

Di tengah-tengah masyarakat di negara-negara maju mendorong untuk bercocok tanam di rumah, di gedung, di atap gedung dan sebagainya. Masyarakat kita menertawakan ide bertanam cabai yang diusulkan Menteri Perdagangan, kalau saya tidak salah.

Memang ide yang dikemukakan Mendag itu karena ibu-ibu mengeluhkan harga cabai yang mahal.
Tapi ide itu bukan ide yang buruk sebenarnya hingga harus ditertawakan, dirundung, dijadikan bahan ejekan.

Memang sih soal hargai cabai yang tinggi itu juga membutuhkan kebijakan dan tindakan politis, regulasi, pengawasan dan sebagainya dari pemerintah. Tapi ide bertanam cabai sendiri di rumah, bukanlah ide yang buruk. Cabai sebenarnya mudah ditanam dan dipanen.
Jadi sebenarnya tidak ada alasan untuk menolak menanam cabai di rumah. Di pot saja tumbuh kok.

Berikut ini link untuk tip bertanam cabai di rumah.http://www.pikirpikir.com/cabe-mahal-ternyata-ini-rahasia-sederhana-agar-tanam-cabe-di-pot-berbuah-lebat/2

LABEL SEHAT



Beberapa waktu lalu saya mendengarkan kisah dari sahabat saya tentang penjual kue yang gemar memampang label sehat di dagangannya. Kami tentu saja langsung membahas hal ini dengan antusias. (Baca: bergosip)

Logikanya sederhana saja. Kalau ingin sehat, tentu kita perlu tahu bahan apa saja yang digunakan. Setelah tahu bahannya, kita tentu perlu tahu bahan itu berasal dari mana. Adakah sertifikasi organik atau sehat yang terpercaya dari bahan tersebut? 

Nah menurut pengalaman saya, menggunakan label sehat pun tidak mudah. Apalagi mencantumkannya di merk dagang. BPOM alias Badan Pengawasan Obat dan Makanan tidak akan memberikan persetujuan dengan mudah. Malah lebih besar  kemungkinan pengajuan merk dagang ditolak. Karena mencantumkan sehat itu berarti kategorinya obat, bukan makanan. Kalau sehat, ukuran atau parameter makanan itu menyehatkan apa? 

Sekarang soal butter, margarin atau minyak. Manakah yang lebih sehat? 

Butter berasal dari susu sapi. Lemak hewani. Anda bisa membuat butter sendiri dengan mengocok susu sapi segar dengan mixer beberapa saat. Margarin berasal dari lemak nabati. Minyak goreng juga lemak nabati. 
Untuk penggunaan jangka panjang, penggunaan butter lebih sehat dibandingkan margarin. Kenapa? Karena margarin itu semacam butter artificial. Tapi margarin lebih baik dalam membuat cake mengembang sempurna. Tiap bahan punya plus minus masing-masing. 

Sebenarnya soal makanan sehat dan organik ini baik-baik saja. Asal tidak terlalu terobsesi. Ada yang alergi dengan gluten, tapi hasil penelitian terbaru, untuk mendapatkan bahan yang gluten free juga menggunakan bahan yang bisa memicu kanker. 
Seperti halnya ada orang -orang yang anti MSG. Padahal sebagian bahan-bahan alami pun mengandung MSG alami. 
Penggunaan gula berlebihan juga dapat memicu anak-anak mengalami hiperaktif akibat sugar rush. Tapi tanpa gula atau garam makanan akan terasa hambar. 

Saya bukan anti masakan makanan sehat. Tapi saya percaya pada proporsi makan dan pola makan yang sehat. Tidak perlu berlebihan anti ini, anti itu. Makan secukupnya dan sewajarnya, didahului dengan doa. Itu sudah cukup untuk saya. 





Saturday, March 18, 2017

TAKEN FOR GRANTED

Food Give No Barrier To Mankind

That's what they said. But I dont think I feel that all the times.

Jadi kisahnya begini. Saya memiliki seorang kenalan. Saya kira awalnya karena sama-sama menghadapi periode kegelapan, saya akan tetap memiliki seorang sahabat. Tapi rupanya masa-masa itu sudah berlalu. Hanya satu yang masih tertinggal saat semuanya melejit dan saya masih merangkak pelan.

Satu waktu kenalan itu mengajak saya untuk makan malam di restoran Thai kecil yang nikmat dekat rumah kami. Saya bermaksud membalas kebaikannya dengan mengirimkan Klappertaart buatan saya untuk keluarganya. Karena dulu saya masih sering berbagi Klappertaart dengan ibunya. Tapi jawaban yang mengecewakan saat saya mengeluhkan betapa susah untuk mengubunginya, "Gua kan nggak minta!". Sakitnya tuh di sini. #tunjukdada

Sekali waktu, berkenaan dengan kenalan yang sama, mengatakan akan memesan bronis untuk perusahaan tempatnya bekerja. Saya mengirimkan penawaran. Tapi tak ada kabar. Saya hubungi tak ada jawaban. Saya menanti-nanti dengan harap. Akhirnya setelah sekian lama ternyata jawabannya pun hanya menghasilkan kekecewaan.

Sekali waktu kenalan itu mengisyaratkan ingin carrot cake buatan saya berdua untuknya dan teman lamanya. Saya tanya kapan, dia hanya menjawab kapan saja. Oke saya bermaksud membuatnya saat setelah Lebaran, berdekatan dengan ulang tahunnya. Saaat itu beliau menjelaskan ongkosnya akan dibagi berdua dengan teman lamanya. Saya tidak bermaksud menagih bagian yang akan ditanggungnya. Tapi entah bagaimana rupanya bagian yang akan ditujukan kepada teman lamanya itu rupanya tidak jadi dibayarkan. Saya sungguh sangat amat kecewa. Dia menyangka kue yg dibagi dua itu gratis juga untuk teman lamanya yang bahkan saya tidak kenal.

Saya memang kadang suka membagikan kue gratis, tapi tentu untuk orang yang saya kenal saja. Dengan tujuan untuk mempromosikan kue buatan saya kepada teman dan kerabatnya. Orang yang tak saya kenal tidak saya beri sampel kue gratis. Karena saya tahu tidak berguna membuang-buang uang untuk orang tidak dikenal. Kue saya takkan dihargai, hanya dianggap taken for granted.

Dan benar saja, setelah dengan berat hati merelakan pembayaran yang menguap, teman kenalan saya tak pernah memesan kue saya, atau merekomendasikan kue saya kepada relasi yang lainnya. Melihatnya dalam list mutual friend hanya terus membangkitkan ingatan menjengkelkan itu. Sehingga akhirnya saya delete saja demj ketenangan batin.

Dan puncaknya adalah saat beliau ini tetiba ingin nemesan kue berukuran satu kali satu meter. Saya kemudian menghitung, berapa banyak volume resep yang dibutuhkan. Kue berbentuk kotak yang proporsional tentu butuh bahan lebih banyak daripada sebuah kue berbentuk bundar. Saya bertanya berapa banyak undangan yang akan hadir. Dia menjawab sekitar 100 orang. Saya coba menawarkan ukuran yang lebih kecil, 60x60cm. Bukan saya tidak mampu mengerjakan ukuran 1x1 meter. Tapi inisiatif saya menawarkan ukuran lebih kecil, bukan saja karena saya merasa jika saya menawarkan seukuran 1x1 m akan menjadi terlalu mahal. Ditambah saya merasa kue berukuran semeter akan membuang-buang sisa kue yang tidak termakan.

Kue berukuran satu meter paling sedikit membutuhkan 9 volume resep, tapi itu pun akan membuat kuenya terlihat cebol. Akan terlihat sangat aneh jika dipaksakan. Pasti akan butuh setidaknya 12 volume resep yang biasa. Dan itu berarti harga yang makin tinggi. Ternyata beliau menawarkan ukuran 50x50cm saja. Saya menyanggupi. Dia menayakan harganya, saya jawab. Tak ada kabar.

Tetiba satu malam, masuk pesan darinya,  "Lu belum beli bahan, kan?"

Saya tahu itu sinyal tidak jadi memesan. Saya terlanjur kecewa, saya jawab "belum".

Lebih kecewa lagi saat tahu lokasi dan betapa besar lokasi tempat acara berlangsung. Saya terlalu lugu berharap dia akan berjuang untuk kue buatan saya yang harganya tak sampai harga dua pax all you can eat di lokasi tempat berlangsungnya acara, akan dipesan. Ditambah olok-olok tentang kue kudapan saya oleh seorang hater. Saya yang diundang dalam acara tersebut berusaha nenahan rasa sedih, tidak berharga, gagal. Tapi akting wajah penuh senyum bahagia itu mudah kok.

Saya memutuskan saya harus melanjutkan hidup. Mencari pertemanan baru. Saya tahu sudah saatnya mundur dari panggung kehidupan mereka.

Saya lelah, saya menyediakan waktu, tenaga, jiwa dan hati saya untuk membuat kue demi menghargai pertemanan, tapi saya tidak mendapatkan compassion yang sama. Kesannya memang berpamrih ya. Saya hanya ingin merasa dihargai.




Saturday, March 11, 2017

Its A Highlight


Saat ini sebenarnya lagi sedikit sedih, tertekan. Tapi lihat Klappertaart Online jadi diiklankan Kecap Bango, jadi terhibur.