Monday, May 19, 2014

PERKARA



Aku duduk terdiam menyaksikan Polisi bekerja di tempat kejadian perkara. Polisi baru saja selesai mencoba melakukan rekonstruksi ulang . Aku masih tak percaya dengan semua kejadian ini. Semua terjadi begitu cepat.
Seorang reporter televisi berdiri dan berbicara menatap kamera, “ Pemirsa, hari ini Polisi mencoba melakukan reka ulang kejadian pembunuhan terhadap pengusaha, Sony Putranto. “
* * *
“ Jadi Son, kapan kamu akan menceraikan istrimu? Aku lelah harus seperti ini terus menerus. Aku tidak bahagia dengan keadaan seperti ini. Aku tidak puas hanya memilikimu di waktu-waktu tertentu saja. Aku bosan harus sembunyi terus menerus. Sampai kapan kita seperti ini? “ tanya Andrea kepada Sony.
“ Tolonglah Sweetie, jangan desak aku seperti ini. Aku tak dapat menceraikan istriku. Kau tahu sendiri semua yang aku peroleh sekarang ini atas bantuan dan posisi istriku. Kalau bukan karena istriku, mana mungkin aku bisa membeli rumah ini. Mana mungkin kau bisa menempati rumah ini. Kalau aku menceraikan dia, habislah aku. Cobalah untuk bersabar dan mengerti posisiku. Bagaimana dengan kedua anakku nanti? “ jawab Sony berusaha menenangkan Andrea.
“ Tapi apa kamu sendiri berusaha mengerti posisiku? Aku kesepian, Son. Aku sendirian di rumah ini. Aku tak sanggup harus hidup seperti ini. Apa kau mau aku mencari lelaki lain untuk menemaniku setiap malam? Aku bisa saja mendapatkan lelaki lain untuk hubungan sex semalam sebagai penggantimu. Tapi bukan itu yang aku mau. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Aku ingin kita bisa bersama-sama untuk selamanya. Kita toh bisa bersama-sama mengasuh kedua anakmu. Atau kita bisa mengangkat anak kalaupun kau kehilangan hak asuh atas kedua anakmu. ”
“ Hah? Kau naïf sekali, Sweetie. Kau pikir kalau aku menceraikan istriku dalam sekejab mata kami akan bercerai? Sudahlah, pokoknya aku tidak mau membahas soal ini lagi. Habis perkara! “ Sony berjalan keluar dan membanting pintu di hadapan Andrea.
Andrea terkejut. Belum pernah Sony bersikap seperti itu kepadanya. Hati Andrea terasa sakit. Ia marah sekaligus sedih dan kecewa. Matanya mulai berkaca-kaca.
* * *
Entah sejak kapan aku mulai merasa ada perubahan pada diri suamiku. Sony mulai gemar berdandan lebih rapi dari biasanya. Waktu itu sempat kutanyakan mengapa ia berdandan lebih rapi. Jawabnya ia sedang senang karena proyek-proyek yang sedang ditindaklanjutinya ternyata berhasil tembus.    
Lama kelamaan aku sendiri menemukan kejadian yang membuatku curiga. Aku sering mendapati Sony menerima telepon diam-diam dan berbicara dengan suara pelan serta sembunyi-sembunyi. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya selama ini.
Pernah sekali waktu saat ia sedang mandi aku memeriksa ponselnya berusaha mencari tahu siapa yang semalam meneleponnya. Tapi aku tidak berhasil karena nomor penelepon itu tidak muncul di daftar.
Sekali waktu Sony mendapatiku sedang memegang ponselnya setelah ia selesai mandi.
“ Siapa, Ma? “ tanya Sony. Aku sempat merasakan nada kuatir dalam suaranya meski raut mukanya berusaha terlihat tenang.
“ Si Monika, barusan menelepon mengingatkan rapat di Keputran, “ jawabku.
“ Oh begitu,“ jawab Sony. Samar aku mendengar desahan napas leganya.
 Setelah kejadian itu, nampaknya Sony lebih bersikap hati-hati. Aku sengaja menelpon ponselnya saat ia sedang mandi dengan alasan salah tekan. Dan ternyata ponselnya dibawa ke dalam kamar mandi. Dari situ aku mulai bertambah curiga terhadapnya.
* * *
“ Untuk apa kau meneleponku pagi tadi? “ tanya Sony dengan suara keras.
“ Aku kangen, Say. Sudah seminggu kan kita tidak bertemu, “ jawab Andrea dengan manja sambil merangkul pinggang Sony.
“ Kau ini sengaja ya? Apa kau ingin Aline tahu hubungan kita? Kau ini gegabah sekali, “ balas Sony dengan nada tinggi
“ Sayangku, apa kau pikir aku begitu bodohnya? Ide yang cerdas bukan menyamar sebagai calon klienmu? Hahahaha… “ jawab Andrea lagi.
“ Tetap saja itu terlalu gegabah, “ balas Sony sembari memeluk Andrea mulai mencumbu bibirnya. Tak lama tangan Sony mulai melucuti pakaian Andrea.
* * *
Kecurigaanku makin bertambah. Aku mencoba menyelidiki ponsel Sony suatu malam saat ia terlelap sangat. Kububuhkan sedikit obat tidur ke dalam susu hangat yang setiap malam kubuatkan untuknya. Aku tak mau ambil resiko Sony terbangun dan menemukanku sedang memeriksa ponselnya.
Aku mulai membuka daftar nama kontak teleponnya. Berusaha menemukan nama yang mencurigakan, nama yang tidak kukenal dengan baik. Beberapa kukenal. Meski banyak juga yang tak kukenal. Tapi aku belum menemukan titik terang siapa yang harus kucurigai sebagai selingkuhan Sony.
Akhirnya aku mulai membuka message inbox. Begitu banyak pesan masuk di dalam inbox hingga berjumlah lebih dari seribu. Pesan-pesan mulai dari bukti transfer, bukti pembayaran online sampai pesan dariku, dari rekan bisnisnya, sekretarisnya, atau anggota keluarga kami yang lain. Dari sekitar seribu pesan di message inbox tak kutemukan satupun yang mencurigakan. Sampai saat aku memeriksa sent folder di ponsel itu. Aku menemukan satu pesan yang merupakan titik terang terselip diantara ribuan pesan terkirim dari ponsel Sony.
To: +6281309878xxxx                                                       21/06/08
Aku ingin bercinta denganmu malam ini…. xoxo ur love
* * *
Dari televisi nampak seorang melaporkan headline news, “ Pemirsa, telah terjadi pembunuhan terhadap pengusaha, SP. Jasad  SP ditemukan di sebuah rumah mewah di daerah Kebayoran Baru oleh pembantu rumah. Dugaan sementara pembunuh adalah AP yang adalah penghuni rumah tempat kejadian perkara. “
Andrea tengah berada di sebuah hotel di kawasan Bogor. Ia gemetar ketakutan. Pandangannya tak lepas dari televisi yang sedang menayangkan berita kematian Sony kekasihnya. Andrea meringkuk di atas tempat tidur. Frustasi dan sedih teramat sangat. Gambaran pisau yang menancap di dada Sony membayangi benak pikirannya. Sementara hatinya meraung dalam kesedihan. Sony, pria satu-satunya yang ia cintai sudah mati. Apa jadi hidupnya tanpa Sony? Andrea menangis pelan-pelan sambil memeluk bantalnya hingga ia tertidur karena kelelahan.
“ Sweetie, sweetie, “ terdengar suara panggilan sayang Sony kepada Andrea. Sony membelai kepala Andrea.
“ Sayangku, maafkan aku. Maafkan aku. Aku selalu menyusahkanmu. Maafkan aku yang tidak pernah puas. Kembalilah Sayangku, aku tidak akan menuntutmu bercerai dari dia. Kembalilah Son, kembali Sayangku. Itu sudah cukup buatku. Aku tidak akan menuntut apa-apa lagi asal kau kembali bersamaku. Sony, sayangku. “ Andrea memeluk Sony sambil terisak-isak. Namun tak lama Sony melepaskan pelukannya dan perlahan pergi menjauh dari Andrea.
“ Sony, Sayangku. Jangan tinggalkan aku sendiri, “ Andrea merintih pelan dalam tidurnya.
* * *
Aku merasa begitu terluka dan terhina. Aku terbakar api cemburu. Aku tidak tahu apa kekuranganku. Aku ingin tahu mengapa Sony berselingkuh. Antara aku dan selingkuhannya itu jelas-jelas kami berbeda. Tapi aku sama sekali tidak menduga Sony tipe orang semacam itu.
Aku sering membuntuti mereka berdua. Mengawasi mereka. Sampai akhirnya aku mulai mengerti pola pertemuan mereka. Selalu malam hari saat Sony mengaku akan berangkat ke luar kota, ke Singapura atau Kuala Lumpur.
* * *
            Di televisi nampak Polisi sedang berjalan mengawal Andrea dengan kedua tangan diborgol. Seorang reporter televisi melaporkan, “ Pemirsa hari ini Polisi berhasil menangkap tersangka AP, pelaku pembunuhan terhadap pengusaha SP. Hanya dalam waktu seminggu Polisi berhasil menangkap AP di sebuah hotel di kawasan Bogor. “
            Andrea tampak pucat dan lesu. Pandangannya kosong. Rambutnya acak-acakan. Pakaiannya kusut. Aroma tak sedap menghambur dari tubuhnya yang tak mandi selama beberapa hari. Seakan-akan dirinya tak menyadari sedang berada di bawah sorotan puluhan kamera televisi dan kilauan lampu blitz. 
            Sejam sebelumnya Andrea menghubungi Polisi untuk menjemput dirinya. Andrea merasa hidupnya hampa tanpa Sony di sisinya.
* * *
Seorang reporter televisi berdiri dan berbicara menatap kamera, “ Pemirsa, hari ini Polisi mencoba melakukan reka ulang pembunuhan terhadap pengusaha, Sony Putranto. Andreas Perdana, pria pelaku pembunuhan adalah kekasih gelap dari korban, Sony Putranto. Hubungan perselingkuhan yang berakhir pada maut. Peristiwa kriminal ini diduga terjadi karena kecemburuan pelaku terhadap istri korban. Pelaku membunuh korban karena tidak puas dengan janji korban yang tidak kunjung menceraikan istri korban. Istri korban sendiri, Aline Putranto, mengaku tak percaya suaminya berselingkuh dengan Andreas. Menurutnya Sony adalah lelaki normal. “
Dalam hati aku menertawakan semua reality show yang penuh dengan kebodohan dan skandal ini. Semua media infotainmen mengulasnya. Masyarakat jatuh kasihan tehadapku, istri malang korban perselingkuhan suami. Ribuan surat dan ratusan karangan bunga tanda simpati dikirimkan kepadaku. Rasanya sukar dipercaya, seperti mimpi buruk saja. Tetapi semua ini nyata. Akulah yang menyelidiki situasi di rumah Andreas. Rumah yang dibeli Sony dengan uang kami. Aku sendiri yang mengendap-endap malam itu. Aku yang membius Andreas dengan chloroform. Puas rasanya hatiku. Aku sendiri yang membunuh Sony dengan pisau kecil milik Andreas. Aku juga yang meletakkan sidik jari Andreas di pisau itu. Tak seorangpun bisa merebut Sony dariku. Apalagi Andreas, banci keparat itu
Ini pembalasanku kepada mereka berdua atas semua sakit hati dan malu yang harus kutanggung. Semoga Sony membusuk di neraka dan Andreas membusuk di penjara. Aku duduk terdiam dengan senyum dingin, menyaksikan Polisi bekerja di tempat kejadian perkara. Polisi baru saja selesai melakukan rekonstruksi ulang . Aku masih tak percaya dengan semua kejadian ini. Semua terjadi begitu cepat. 

Tamat

Tumbuh remaja hingga dewasa dengan novel-novel Agatha Christie mempengaruhi atau menginspirasi saya dalam membuat cerpen ini. Meski jauh dari kualitas seorang Agatha Christie, setidaknya saya sudah berusaha mencobanya. 
 

LEWAT RADIO



Masih terkenang dalam benak Doni malam itu, seorang diri mengendarai mobil di tengah sepinya jalan protokol ibukota. Suara penyiar radio mengalun di udara menemaninya dalam perjalanan pulang dari kantor.  Kebiasaannya mendengarkan radio tersebut akibat tertular kebiasaan Rosa, sang istri. Malam itu penyiar radio favorit Rosa sedang berbagi cerita dengan para pendengarnya. Dibacakannya pesan-pesan yang masuk. Seorang pendengar mengirim berita bahagia akan kehamilan yang sekian tahun ditunggunya. Pendengar lain menyatakan cinta untuk sang suami yang membantunya mengalahkan kanker. Tanpa sadar mata Doni pun mulai berkaca-kaca. Diraihnya ponsel dan ditekannya nomor telepon radio tersebut.
* * *
Masih terkenang dalam benak Rosa malam itu, malam terakhir ia dan Doni bersama berdua. Malam itu Rosa akan berangkat ke Surabaya untuk tugas kantor selama 3 bulan. Dengan terbentangnya jarak secara fisik, akankah Rosa menjadi semakin asing bagi Doni? Doni sempat menyatakan kekuatirannya akan kehilangan Rosa. Akhir-akhir ini Doni merasa istrinya itu makin terpaut jarak di dalam hati. Meskipun seranjang setiap malam, tetap saja Doni terasa tak pas di hati Rosa. Doni memeluk tubuh Rosa erat dan mengecup kedua pipinya. Entah mengapa ia merasa akan kehilangan Doni.   
“Kamu masuk saja, Say. Daripada nanti tergesa-gesa,” pinta Doni kepadanya untuk masuk ke ruangan boarding
            “Aku pergi dulu ya, Mas. Mas jaga diri baik-baik.“ balas Rosa sembari membalas mengecup kedua pipi Doni. Rosa segera berbalik, berjalan sambil menarik kopor. Rosa yang sedikit gelisah, merasa ingin segera saja berlalu meninggalkan Doni. Ia sudah tak sabar tiba di Surabaya. Doni pun merasakan kegelisahan Rosa. Ini kali pertama lewat dua tahun pernikahan mereka, Rosa harus pergi sekian lama meninggalkan Doni sendiri.
* * *
           Masih terkenang dalam benak Rosa malam itu, malam pertama kali mereka bertemu. Rosa mengenal Doni karena perjodohan kedua orang tua mereka. Semula Rosa tidak terlalu antusias dengan perjodohan itu. Dikenakannya gaun terusan hitam tanpa lengan. Dengan kalung emas putih menghias leher jenjangnya serta sepasang anting mutiara bergantung di kedua daun telinganya. Dalam kesederhanaannya, Rosa ternyata malah memikat Doni.
            “Hai, aku Doni,” serunya sambil mengulurkan tangan kepada Rosa.
            “Aku Rosa,“ ujar Rosa dengan memasang wajah dihiasi senyum terpaksa sembari menyambut uluran tangannya. 
            Sejak saat itu Doni jadi sering mengunjungi rumahnya. Menjemput Rosa pulang dari kantor. Mengajaknya makan malam berdua. Menemaninya berbelanja. Mengajaknya menonton film di bioskop.  Doni dengan senang hati melakukan semuanya untuk Rosa. Ia berusaha untuk merengkuh hati Rosa. Doni ingin mendapatkan cintanya.
Semua terasa berjalan begitu alami bagi Doni. Sementara buat Rosa sendiri semua ini dijalaninya dengan sikap terbuka hanya untuk menyenangkan hati orang tuanya. Rosa berusaha membalas perlakuan Doni kepadanya dengan kehangatan. Meski ada perbedaan diantara mereka, bagi Doni hidup terasa begitu sempurna. Tapi lain halnya dengan Rosa. Doni terlalu bahagia hingga tak menyadari apa yang akan dihadapinya karena masa lalu Rosa. Dalam hati Rosa masih terdapat ganjalan karena cerita cinta masa lalunya. Tak disadari Doni betapa kuat cinta masa lalu Rosa.  
Pikir Doni, "Aku telah berhasil mendapatkan cinta Rosa."
* * *
Masih terkenang dalam benak Rosa malam itu, saat Doni melamar dirinya menjadi pendamping hidupnya.
            “Ros, maukah kau menjadi istriku?“ tanya Doni kepadanya dengan penuh harap.
            Rosa terdiam sejenak karena terkejut. Keraguan sempat terbersit dalam hatinya sebelum ia kemudian memutuskan untuk menjawab, “Ya, aku mau.“
“Terima kasih, Ros. Terima kasih.” Hanya itu yang sanggup keluar dari bibir Doni. Lanjutnya lagi,"Aku menyayangi dan mencintaimu, Ros." Tak dapat disembunyikan Doni rasa bahagia yang meluap. Sepanjang sisa malam itu raut muka Doni tersenyum-senyum lebar seperti orang gila.
            Bulan kesepuluh hari ketujuh di tahun kedua sejak pertemuan pertama mereka, pesta pernikahan pun dilangsungkan. Tak dapat disangkal betapa wajah keempat orang tua mereka begitu berbinar saat pesta berlangsung. Tetapi raut wajah Rosa sendiri tak begitu berbinar. Pikir Doni mungkin akibat kelelahan dengan serangkaian prosesi adat. Seandainya Doni tahu alasan yang sebenarnya dibalik itu. Hati Rosa sedikit merasa galau.  Terbayang dalam benak Rosa, semestinya bukan Doni dan kedua orang tuanya yang berada di pelaminan bersamanya. Seharusnya lelaki lain, cinta dari masa lalunya.
* * *
            Masih terkenang dalam benak Rosa malam yang penuh kegelisahan itu. Sudah dua tahun berjalan sejak hari pernikahan mereka. Dinyalakannya radio lewat ponselnya. Diarahkannya tune ke gelombang radio satu kelompok dengan radio yang biasa didengarkannya di Jakarta. Acara radio kesukaannya itu disiarkan langsung di lima kota besar, termasuk Surabaya. Kali ini ia membulatkan tekad untuk menghubungi sang penyiar radio, Budi Dalian, untuk mecurahkan isi hatinya.
“Malam ini kita mendapat pengakuan yang jujur dari salah seorang pendengar yang tengah berada di Surabaya untuk urusan kantor.” Suara Budi penyiar yang mengasuh acara radio tersebut mulai berkumandang di udara. "Saya di studio sebenarnya terkejut dengan pengakuannya. Itulah sebabnya saya memutuskan untuk mengangkat kisahnya. Di ujung telepon sudah ada, ehm kita sebuat saja namanya, Mawar. Mari kita dengarkan kisahnya. Mawar, sudah berapa lama menikah?“ lanjut Budi
            “Sudah dua tahun, Bud,” jawab suara wanita di ujung Surabaya.
           Sementara Doni pun turut mendengarkan acara radio yang sama di Jakarta sembari mengendarai mobil dalam perjalanan pulang dari kantor. Doni sedikit terperanjat mendengar kemiripan suara wanita itu dengan suara Rosa. Namanya pun memiliki arti yang sama meski berbeda bahasa. Mungkin hanya kebetulan, batin Doni. Tapi ini sudah dua kebetulan kemiripan. Hatinya mulai gelisah. 
“Di Surabaya, Mawar bertemu kembali dengan cinta pertama yang tidak direstui orang tua karena perbedaan suku. Berapa lama dirimu sempat menjalin hubungan dengan pria ini, Mawar?“
            “Tujuh tahun, Bud.“
            Kebetulan yang ketiga dan keempat membuat hati Doni terpukul. Meski ia tak tahu dimana mantan kekasih Rosa saat ini. Tapi sepengetahuannya Rosa pernah menjalin hubungan selama tujuh tahun dengan mantan kekasihnya itu. Ia juga mengetahui kalau hubungan masa lalu itu tak direstui orang tua Rosa karena perbedaan suku. Makin yakinlah Doni kalau penelepon di radio itu sebenarnya Rosa, istrinya.
            “Dan pendengar, Mawar bertanya apa sebaiknya ia menyudahi pernikahannya untuk bersatu dengan cinta lamanya? Atau tetap melanjutkan pernikahan ini? Benar begitu, Mawar?”
            “Betul, Bud. Sejak awal, aku tak merasakan cinta terhadap suamiku. Aku berusaha menjalaninya dengan harapan siapa tahu rasa cinta akan tumbuh dengan sendirinya, tapi kenyataannya tak berubah juga. Aku menikahinya untuk alasan yang salah, menyenangkan orang tua kami. Aku sadar dirinya itu lelaki baik-baik. Aku berusaha membalasnya dengan melakukan kewajiban sebagai seorang istri. Tapi hatiku masih terisi dengan cinta masa laluku. Kalau aku menyudahi pernikahan ini, tentu aku akan menyakiti suami yang mencintaiku. Tetapi apa pernikahan ini masih layak dilanjutkan, Bud? Tak adil rasanya untuk suamiku. Aku menjadikannya korban.“
            Doni terkejut mendengarkan pengakuan itu. Setelah semua yang dilakukannya untuk Rosa ternyata tak mampu mendapatkan cintanya. Hatinya pedih karena terluka. Matanya kembali berkaca-kaca. Tiba-tiba Doni merasakan tekanan yang luar biasa menerjang sekujur tubuhnya. Segera kegelapan yang pekat menyelimuti Doni.
* * *
            Masih terkenang siang itu, Rosa turun dari mobil bersandar di bahu mantan kekasihnya. Matanya bengkak dan sembab.
            “Apa air mata Rosa itu benar-benar untukku”, batin Doni. Pedih hati Doni menyaksikan semua itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Sementara pria itu duduk di samping Rosa, disaksikannya Rosa terisak-isak di depan peti matinya.
Dalam hati Rosa mengucap, "Maafkan aku, Mas. Aku baru sadar ternyata cintaku sudah bertumbuh setelah kehilanganmu. Maafkan aku."
            Semalam sebelumnya.
Suara Budi memberitakan, "Pendengar ternyata di jalan protokol di depan gedung kami telah terjadi kecelakaan. Sebuah mobil sedan putih tersambar sedan lainnya berwarna merah."
            Di ujung Surabaya sempat tak juga terbersit kelegaan sesaat setelah ia mencurahkan kegelisahan hatinya. Diletakkannya gagang telepon.
            “Miao!”
Tiba-tiba muncul seekor kucing hitam menatap Rosa tajam sambil berdiri di depan jendela mengejutkan dirinya yang sedang duduk menerawang ke jendela.
“Ah, siapa lagi yang meninggal?” tanya Rosa. Batinnya pun bertambah gelisah.
Terdengar suara Budi kembali, “Mari kita lanjutkan acara dengan membacakan pesan yang masuk. Doni di Jakarta ingin mengirimkan ucapan rindu dan I love you untuk sang istri yang sedang bertugas di Surabaya.”
Tamat

Cerpen ini saya tulis beberapa tahun lalu. Terinspirasi dari kegemaran saya mendengarkan acara di malam hari yang dibawakan oleh penyiar radio favorit saya Rudi Dahlan di radio Female. 

TRAGEDI TUKANG INTIP



Perkenalkan, namaku Tommy. Umurku 34 tahun. Hobiku mengintip. Ya, mengintip telah menjadi kegemaranku sejak di akhir bangku sekolah dasar. Entah mengapa aku begitu terpikat untuk mengintip di balik pakaian yang dikenakan seorang perempuan. Mungkin disebabkan tubuh perempuan itu berbeda dengan tubuhku sendiri sebagai seorang lelaki. Tubuh perempuan terlihat begitu misterius sekaligus menggoda. Saat aku masih berusia kanak-kanak, teman-temanku perempuan membungkus tubuhnya dengan kaos singlet dan miniset dibalik pakaian luar. Anehnya daerah selangkangan mereka hanya tertutup oleh selapis kancut. Menarik, kan? Jika menurut sabda John Mayer, your body is a wonderland, maka aku mengaminkannya dengan sepenuh hati dan jiwa. Tubuh seorang perempuan itu seakan taman bermain yang selalu memikat mataku untuk mengintip dari balik busana yang dikenakannya.
Ada sebuah ungkapan dari orang-orang tua jaman dahulu. Kalau mata ini bintitan itu karena suka mengintip. Apa aku percaya itu? Tentunya tidak! Entah telah berapa kali aku mengintip, pengalaman mataku terserang bintitan tak lebih dari dua kali sepanjang ku hidup. Aku yakin ungkapan itu hanya untuk menakut-nakuti anak-anak supaya mereka tidak mengintip dari balik rok anak perempuan atau bahkan menyingkapkan rok mereka. Betapa bodoh dan penakutnya anak-anak yang percaya akan hal itu. Dan seringkali mereka justru terserang bintitan setelah mengintip hanya karena sugesti saja. Bah, aku bukan orang yang takut dan kuatir terhadap penyakit seperti mata bintitan.
Seandainya aku memang termakan oleh kepercayaan mata bintitan karena mengintip, mungkin aku tak akan bisa menjadi tukang intip profesional seperti saat ini. Ya, aku berani menyebut diriku pengintip profesional karena aku tidak setengah-setengah melakukan hobiku mengintip. Dan aku tak pernah sekalipun tertangkap basah karena hobiku ini. Ini hobiku, dan aku sangat mencintai melakukannya. Aku tak puas jika hanya melihat tubuh seorang perempuan telanjang begitu saja di depan mataku. Aku lebih suka mengintip karena tubuh seorang perempuan terasa lebih misterius. Aksiku mengintip membuat adrenalin meningkat. Itulah sebabnya aku menjadi kecanduan mengintip.
Mengintip memberikanku pengalaman orgasme yang berbeda. Aku bangga dengan aksi mengintipku. Karena tidak semua lelaki mampu melakukan apa yang kulakukan. Dan tidak semua lelaki mampu melihat apa yang sudah pernah kulihat sepanjang umur hidupku. Jika saja setiap perempuan yang kuintip bisa bunting, maka aku pastilah mampu menciptakan bukan hanya rekor dunia tapi satu suku bangsa sendiri. Semua itu karena sudah tak terhitung lagi berapa banyak jumlah perempuan yang sukses kuintip.
Awalnya aku belajar mengintip dengan menjatuhkan pensil dari meja tulis di dalam kelas. Untuk meraih kembali pensil yang terjatuh, tentu aku harus membungkukkan tubuhku. Saat membungkukkan tubuh itulah aku mencuri kesempatan mengintip dengan sedikit menolehkan pandangan mataku ke arah bangku di belakangku. Di deretan bangku belakang seringkali tanpa sadar anak-anak perempuan itu mengangkangkan kedua kaki lebar hingga terungkaplah apa yang ada di dalam rok mereka. Kondisi itu membuatku leluasa memandangi paha mulus dan celana dalam mereka yang berwarna-warni serta beragam motif. Semakin sering kulakukan aku semakin pandai menyamarkan, mempersingkat waktu sekaligus memperluas jangkauan pandangan mataku. Dalam sekali pindai saja aku mampu mengetahui motif dan warna kancut dari setidaknya selusin anak perempuan di kelasku.
Seiring waktu tentu saja bukan hanya kemampuan tetapi juga teknik mengintipku semakin meningkat dan beragam. Jika teman-temanku lelaki hanya meletakkan rautan bundar yang memiliki cermin pada salah satu sisinya, maka apa yang kulakukan selangkah lebih maju dari yang mereka kerjakan. Aku akan membongkar rautan tersebut supaya aku mendapatkan cermin bundar itu. Lalu aku akan menempelkan potongan cermin bundar yang kuambil dari rautan pensil pada ujung sepatuku. Saat kulangkahkan kaki di belakang mereka, kuarahkan ujung sepatuku ke bawah rok murid perempuan yang ada di depanku. Aksi yang mendebarkan itulah yang membuat mengintip lebih menarik dan menantang.
Saat dewasa aku mulai gemar mengintip di tempat umum, seperti di dalam bus yang selalu kutumpangi setiap kali pergi dan pulang bekerja. Tak ada yang lebih menarik di pagi hari saat berangkat kerja menyaksikan wanita pekerja mengenakan rok mini berdiri atau duduk dengan gelisah karena mengetahui tungkai mulusnya sedang menjadi sasaran pandangan lelaki-lelaki lainnya di dalam bus.
Dulu aku sempat menyesali perawakanku yang tergolong pendek untuk ukuran pria pada umumnya. Karena perawakanku yang pendek ini aku pernah beberapa kali ditolak sejumlah gadis cantik yang kusukai. Bukan kebetulan kalau gadis-gadis itu memiliki perawakan yang lebih tinggi dariku saat di bangku SMA dulu. Tapi aku berhasil membalaskan sakit hatiku dengan mengkonfirmasi warna dan motif celana dalam yang sedang dikenakan mereka setiap hari berturut-turut selama seminggu. Mereka tentulah merasa malu dan kesal. Beberapa dari mereka berusaha melaporkanku ke wali kelasnya. Tapi karena tidak ada satupun bukti, aku lolos dari hukuman.
Sekarang aku justru bersyukur dengan ukuran tubuhku yang mungil ini. Di dalam bus aku dengan leluasa mengintip buah dada terbungkus kutang menawan dari sela-sela kancing kemeja yang terpampang tepat di depan wajahku. Saat bis berguncang, seringkali wajahku terbanting pada payudara mereka. Saat kejadian mereka tampak malu karena seringkali hantaman buah dada mereka sempat membekap hidungku. Tapi aku justru menikmatinya. Saat mereka minta maaf aku hanya mesam mesem mesum. Aku yakin 100% kalau ide bantalan udara kembar pada mobil itu diperoleh dari kondisi yang kualami oleh seorang berperawakan pendek seperti diriku.
Bis bukan hanya satu-satunya lokasi sasaranku mengintip. Aku pernah mengintip di toilet umum. Tentu saja menggunakan kaca rautan andalanku yang selalu siap sedia di dalam dompetku. Seringkali aku mengintip melalui lubang ventilasi. Aku sanggup berdiam diri lama menanti korbanku. Semua itu kulakukan supaya diriku tak tertangkap basah sedang mengintip. Kadangkala aku memberikan tip cukup besar kepada para penjaga sehingga mereka percaya dan mengira kalau diriku adalah lelaki terhormat. Aku juga pernah mengintip di kamar ganti pakaian di sejumlah pusat perbelanjaan. Tentu di lokasi semacam itu aku tak dapat menggunakan cermin rautan lagi.
Ya, teknologi yang kugunakan untuk mengintip tak hanya.teknologi primitif seperti cermin rautan. Seiring dengan perkembangan teknologi aku memperlengkapi hobiku dengan perlengkapan berupa gadget paling mutakhir. Mulai dari yang sederhana seperti ponsel berkamera, kamera berukuran super kecil, binokular hingga bolpen berkamera. Sebut saja aku pasti memilikinya. Lengkap dan bukan hanya satu tapi dua buah dari setiap jenisnya. Kenapa dua? Karena jika yang satu rusak, aku masih memiliki cadangan. Sekarang tentu kalian mengerti mengapa aku menyebut diriku pengintip profesional.
Seringkali aku mengarahkan kamera ponsel ke bawah rok mini mereka yang kebetulan berdiri di depanku. Di dalam bus saat jam sibuk, pemandangan penumpang yang berdiri berdesak-desakan merupakan kesempatan emas untuk mengintip di balik rok mini para wanita karir itu. Satu waktu kudapati seorang wanita ternyata tak mengenakan kutang dibalik blouse yang dikenakannya. Aku menyadarinya saat kuintip dari sela-sela kancing bajunya. Pantas saja buah dadanya yang berukuran besar berguncang-guncang sedemikian rupa setiap kali bus berhenti. Aku berhasil mengabadikan salah satu buah dadanya dengan berpura-pura menelepon. Lain waktu pernah kudapati sekali seorang gadis ternyata tak mengenakan kancut, hingga terungkaplah pemandangan menggiurkan itu.
Saat itu dalam hatiku aku langsung bersorak haleluya! Rupanya fenomena gadis-gadis harajuku itu telah mampir juga di Jakarta. Aku mengetahui fenomena ini dari sebuah majalah fesyen dan film Babel yang kutonton. Aku berdoa semoga fenomena ini semakin fashionable di kalangan gadis-gadis Jakarta.
Dan doaku terjawab. Meski aku tak yakin kalau Tuhan akan menjawab doa orang seperti diriku. Tapi bisa jadi Tuhan sedang bermain-main denganku.
Siang itu dalam salah satu bus Transjakarta dari arah Kota aku sedang menuju ke Blok M. Di halte Monas masuklah seorang gadis tinggi semampai. Tubuhnya indah dengan lekuk yang sempurna. Langkah kakinya begitu percaya diri, layaknya seorang model yang sedang berjalan melenggang di atas catwalk. Saat itu bus sedang dalam keadaan sepi penumpang. Gadis itu menghempaskan tubuhnya di bangku persis di seberang bangku yang kutempati. Gadis itu memiliki kulit kuning langsat mulus. Rambut berona pirang kecoklatan menambah kesan kecantikan eksotik pada raut mukanya yang terlihat sangat Indonesia. Gadis itu mengenakan rok mini. Ia kemudian duduk bersilang kaki. Tungkainya terlihat begitu sempurna bagai model iklan stoking di majalah.
Kamipun bertemu pandang. Tatapan matanya begitu menantang. Aku tersipu malu-malu kuda. Tapi kupandangi juga tungkai jenjangnya itu. Kuangkat pandangan mataku. Sembari memandang wajahku, gadis itu mulai menjilat dan menggigit bibirnya. Jantungku makin berdebar kencang. Ia meluruskan kakinya, kemudian perlahan merenggangkan kedua lutut kakinya. Rok yang dikenakannya mulai tersingkap. Adrenalinku mulai memuncak. Tanpa sadar keringat dingin mulai membasahi keningku.
Sesaat tampaklah bagian dalam roknya, aku segera mengangkat wajahku. Gadis itu tersenyum licik dan sinis kepadaku. Sementara aku hanya sanggup tersenyum kecut. Aku segera mengalihkan pandanganku dari wajahnya.
Sialan! Ternyata gadis itu memiliki buah zakar.
* * *


Cerpen ini salah satu cerpen lama yang berusaha saya dokumentasi ulang semenjak komputer terkena bocoran air. Diposting ulang disini sebagai upaya dokumentasi dari sekian cerpen yang pernah saya tulis dan berhasil saya selamatkan dari sela-sela dokumentasi surel yang pernah terkirim dari salah satu akun lama saya.