Di Indonesia dikenal adanya konsep rumah tumbuh. Dari penuturan salah satu arsitek pionir Indonesia, Han Awal, konsep rumah tumbuh menyesuaikan bagaimana keluarga Indonesia tumbuh. Mulai dari sebagai pasangan menikah. Memiliki anak satu. Kemudian bertambah menjadi dua atau tiga dan seterusnya. Memiliki pembantu. Memiliki mobil. Memiliki menantu. Kemudian anak dan menantu keluar dari rumah untuk berdikari. Memiliki cucu.
Semua proses tersebut berpengaruh terhadap bentuk rumah. Awalnya hanya memiliki dua kamar tidur. Kemudian harus menambah kamar satu lagi karena memiliki anak dengan jenis kelamin yang berbeda. Awalnya tak memiliki kamar pembantu jadi perlu untuk memiliki kamar pembantu. Karena anggota keluarga bertambah otomatis memerlukan tambahan ruang. Bisa dimulai dari ruang untuk gudang penyimpanan, perluasan ruang keluarga, menambah garasi karena baru membeli mobil. Karena tak cukup satu mobil garasi perlu diperluas karena harus membeli yang baru. Saat anak menikah harus memiliki kamar yang lebih luas hingga memerlukan renovasi kembali.
Pada intinya proses kehidupan masyarakat Indonesia begitu mempengaruhi interior maupun arsitektur rumahnya sendiri. Coba perhatikan bagaimana perumahan-perumahan baru maupun lama di Jakarta. Begitu banyak perubahan dilakukan tanpa memperhatikan kaidah2 interior maupun arsitektur. Fasad bangunan yang sudah cantik bergaya mediteranian, klasik tiba2 dirusak oleh atap kanopi polycarbonate berbahan stainless steel yang bergaya antah berantah. Sebuah perubahan yang tanpa selera estetika. Padahal rumah tersebut bukan murah. Ini juga menunjukkan ungkapan money can't buy taste. Punya uang bukan berarti punya selera.
Teman saya pernah mengeluhkan kalau rumah di kawasan Cibubur. Menurutnya kalau kita berada di dalam rumah hawanya terasa benar-benar panas. Saya sendiri baru dua kali berada di perumahan di kawasan Cibubur. Tapi menurut saya hawa panas di dalam rumah ini memang bukan saja fenomena rumah di kawasan Cibubur tapi sudah menjalar ke mana-mana, seluruh penjuru Jakarta dan kota-kota pendukung di sekitarnya.
Mengapa demikian?
Udara mengalir memerlukan alur sirkulasinya sendiri. Rumah-rumah yang mungil maupun besar saat ini umumnya dirancang dengan menyediakan taman belakang yang cukup mungil untuk membuat udara dari depan mengalir masuk dan keluar melalui void atau bukaan halaman di belakang rumah.
Nah karena kekurangan ruang akhirnya ditutuplah halaman belakang untuk mendapatkan ruang baru. Alhasil sirkulasi udara tidak mengalir dari depan ke belakang, hawa menjadi panas, diputuskan untuk menggunakan AC. Menambah jumlah AC berarti meningkatkan penggunaan listrik, meningkatkan biaya listrik, menambah kontribusi terhadap pemanasan global.
Sebenarnya yang menjadi sedikit kegelisahan saya adalah kebiasaan orang Indonesia untuk merubah rumah tanpa perhitungan arsitektur, desain dan konsep yang mendalam. Hasilnya arsitektur atau desain yang sudah dipikirkan secara matang-matang harus ternodai. Ternodai bukan semata-mata soal image rumah yang menjadi acak adut nggak jelas. Tapi juga dari aspek2 fungsinya menjadi tidak maksimal. Sebagai contoh ya sirkulasi udara tersebut.
Tidak ada salahnya membayar arsitek atau desainer untuk konsultasi singkat, tanpa gambar kerja yang lengkap untuk menghemat biaya demi mendapatkan desain yang lebih maksimal. Tapi seringkali yang terjadi pemilik rumah hanya berkonsultasi pada tukang atau pemborong yang tidak memiliki konsep yang jelas, tak berselera, selain pengerjaan dan mengeruk keuntungan. Dan hasilnya memang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara konsep desain.
Sebenarnya bukan soal desain dan arsitektur saja yang perlu dipertimbangkan. Tapi soal kebutuhan. Rasanya kalau memang dituruti kebutuhan akan ruang tidak akan pernah habis. Tapi mungkin dana tidak memadai untuk membeli rumah yang lebih besar. Sementara kebutuhan untuk ruang mendesak.
Tapi coba ditelaah lagi. Apakah memang mendesak?
Kadang rasanya hanya karena ada uang lebih lantas kita buru2 ingin menambah ruang, menambah pergola tanpa memperhitungkan berbagai aspek lainnya. Mungkin ada baiknya kita justru mengefektifkan ruang yang ada, lebih efisien menggunakan furniture dan barang, lebih mengefektifkan kegiatan sehari-hari kita ketimbang merubah arsitektur dan interior rumah kita.
Mengapa saya berpendapat demikian?
Karena terbukti orang-orang Indonesia yang menghuni di apartemen ternyata bisa tetap tidak merubah fisik apartemen mereka baik secara arsitektur dan interior karena keterbatasan dan juga aturan yang sudah disepakati bersama. Itu berarti mereka bisa melakukan ketiga hal yang saya sebutkan di atas kalau memang mau.
tapi Tim, dilihat dari segi positifnya. Membangun/mengubah rumah di Indonesia itu gampang banget. Coba kalo kaya di Eropa, mo mengubah rumah sendiri aja susahnya bukan main. Jadi berpikir ini sbenernya rumah kita sendiri apa bukan, kok diapa2in ngga boleh.
ReplyDeleteIya sih Mbak. Cuma tahu sendiri kan kalo di Indo sudah tata kota buruk, fisik pemukiman juga gak jelas arahnya beda sama kota2 tua di Eropa yg masih terawat. Sebenarnya sih boleh2 saja di rubah asal sesuai dengan lingkungan sekitarnya. Sekarang sih di beberapa perumahan sudah seperti itu.
ReplyDeletemet natal Tim, buat kamu n keluarga. Smoga berkat natal bikin kamu lebih sukses thn depan
ReplyDelete