Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Monday, May 19, 2014

LEWAT RADIO



Masih terkenang dalam benak Doni malam itu, seorang diri mengendarai mobil di tengah sepinya jalan protokol ibukota. Suara penyiar radio mengalun di udara menemaninya dalam perjalanan pulang dari kantor.  Kebiasaannya mendengarkan radio tersebut akibat tertular kebiasaan Rosa, sang istri. Malam itu penyiar radio favorit Rosa sedang berbagi cerita dengan para pendengarnya. Dibacakannya pesan-pesan yang masuk. Seorang pendengar mengirim berita bahagia akan kehamilan yang sekian tahun ditunggunya. Pendengar lain menyatakan cinta untuk sang suami yang membantunya mengalahkan kanker. Tanpa sadar mata Doni pun mulai berkaca-kaca. Diraihnya ponsel dan ditekannya nomor telepon radio tersebut.
* * *
Masih terkenang dalam benak Rosa malam itu, malam terakhir ia dan Doni bersama berdua. Malam itu Rosa akan berangkat ke Surabaya untuk tugas kantor selama 3 bulan. Dengan terbentangnya jarak secara fisik, akankah Rosa menjadi semakin asing bagi Doni? Doni sempat menyatakan kekuatirannya akan kehilangan Rosa. Akhir-akhir ini Doni merasa istrinya itu makin terpaut jarak di dalam hati. Meskipun seranjang setiap malam, tetap saja Doni terasa tak pas di hati Rosa. Doni memeluk tubuh Rosa erat dan mengecup kedua pipinya. Entah mengapa ia merasa akan kehilangan Doni.   
“Kamu masuk saja, Say. Daripada nanti tergesa-gesa,” pinta Doni kepadanya untuk masuk ke ruangan boarding
            “Aku pergi dulu ya, Mas. Mas jaga diri baik-baik.“ balas Rosa sembari membalas mengecup kedua pipi Doni. Rosa segera berbalik, berjalan sambil menarik kopor. Rosa yang sedikit gelisah, merasa ingin segera saja berlalu meninggalkan Doni. Ia sudah tak sabar tiba di Surabaya. Doni pun merasakan kegelisahan Rosa. Ini kali pertama lewat dua tahun pernikahan mereka, Rosa harus pergi sekian lama meninggalkan Doni sendiri.
* * *
           Masih terkenang dalam benak Rosa malam itu, malam pertama kali mereka bertemu. Rosa mengenal Doni karena perjodohan kedua orang tua mereka. Semula Rosa tidak terlalu antusias dengan perjodohan itu. Dikenakannya gaun terusan hitam tanpa lengan. Dengan kalung emas putih menghias leher jenjangnya serta sepasang anting mutiara bergantung di kedua daun telinganya. Dalam kesederhanaannya, Rosa ternyata malah memikat Doni.
            “Hai, aku Doni,” serunya sambil mengulurkan tangan kepada Rosa.
            “Aku Rosa,“ ujar Rosa dengan memasang wajah dihiasi senyum terpaksa sembari menyambut uluran tangannya. 
            Sejak saat itu Doni jadi sering mengunjungi rumahnya. Menjemput Rosa pulang dari kantor. Mengajaknya makan malam berdua. Menemaninya berbelanja. Mengajaknya menonton film di bioskop.  Doni dengan senang hati melakukan semuanya untuk Rosa. Ia berusaha untuk merengkuh hati Rosa. Doni ingin mendapatkan cintanya.
Semua terasa berjalan begitu alami bagi Doni. Sementara buat Rosa sendiri semua ini dijalaninya dengan sikap terbuka hanya untuk menyenangkan hati orang tuanya. Rosa berusaha membalas perlakuan Doni kepadanya dengan kehangatan. Meski ada perbedaan diantara mereka, bagi Doni hidup terasa begitu sempurna. Tapi lain halnya dengan Rosa. Doni terlalu bahagia hingga tak menyadari apa yang akan dihadapinya karena masa lalu Rosa. Dalam hati Rosa masih terdapat ganjalan karena cerita cinta masa lalunya. Tak disadari Doni betapa kuat cinta masa lalu Rosa.  
Pikir Doni, "Aku telah berhasil mendapatkan cinta Rosa."
* * *
Masih terkenang dalam benak Rosa malam itu, saat Doni melamar dirinya menjadi pendamping hidupnya.
            “Ros, maukah kau menjadi istriku?“ tanya Doni kepadanya dengan penuh harap.
            Rosa terdiam sejenak karena terkejut. Keraguan sempat terbersit dalam hatinya sebelum ia kemudian memutuskan untuk menjawab, “Ya, aku mau.“
“Terima kasih, Ros. Terima kasih.” Hanya itu yang sanggup keluar dari bibir Doni. Lanjutnya lagi,"Aku menyayangi dan mencintaimu, Ros." Tak dapat disembunyikan Doni rasa bahagia yang meluap. Sepanjang sisa malam itu raut muka Doni tersenyum-senyum lebar seperti orang gila.
            Bulan kesepuluh hari ketujuh di tahun kedua sejak pertemuan pertama mereka, pesta pernikahan pun dilangsungkan. Tak dapat disangkal betapa wajah keempat orang tua mereka begitu berbinar saat pesta berlangsung. Tetapi raut wajah Rosa sendiri tak begitu berbinar. Pikir Doni mungkin akibat kelelahan dengan serangkaian prosesi adat. Seandainya Doni tahu alasan yang sebenarnya dibalik itu. Hati Rosa sedikit merasa galau.  Terbayang dalam benak Rosa, semestinya bukan Doni dan kedua orang tuanya yang berada di pelaminan bersamanya. Seharusnya lelaki lain, cinta dari masa lalunya.
* * *
            Masih terkenang dalam benak Rosa malam yang penuh kegelisahan itu. Sudah dua tahun berjalan sejak hari pernikahan mereka. Dinyalakannya radio lewat ponselnya. Diarahkannya tune ke gelombang radio satu kelompok dengan radio yang biasa didengarkannya di Jakarta. Acara radio kesukaannya itu disiarkan langsung di lima kota besar, termasuk Surabaya. Kali ini ia membulatkan tekad untuk menghubungi sang penyiar radio, Budi Dalian, untuk mecurahkan isi hatinya.
“Malam ini kita mendapat pengakuan yang jujur dari salah seorang pendengar yang tengah berada di Surabaya untuk urusan kantor.” Suara Budi penyiar yang mengasuh acara radio tersebut mulai berkumandang di udara. "Saya di studio sebenarnya terkejut dengan pengakuannya. Itulah sebabnya saya memutuskan untuk mengangkat kisahnya. Di ujung telepon sudah ada, ehm kita sebuat saja namanya, Mawar. Mari kita dengarkan kisahnya. Mawar, sudah berapa lama menikah?“ lanjut Budi
            “Sudah dua tahun, Bud,” jawab suara wanita di ujung Surabaya.
           Sementara Doni pun turut mendengarkan acara radio yang sama di Jakarta sembari mengendarai mobil dalam perjalanan pulang dari kantor. Doni sedikit terperanjat mendengar kemiripan suara wanita itu dengan suara Rosa. Namanya pun memiliki arti yang sama meski berbeda bahasa. Mungkin hanya kebetulan, batin Doni. Tapi ini sudah dua kebetulan kemiripan. Hatinya mulai gelisah. 
“Di Surabaya, Mawar bertemu kembali dengan cinta pertama yang tidak direstui orang tua karena perbedaan suku. Berapa lama dirimu sempat menjalin hubungan dengan pria ini, Mawar?“
            “Tujuh tahun, Bud.“
            Kebetulan yang ketiga dan keempat membuat hati Doni terpukul. Meski ia tak tahu dimana mantan kekasih Rosa saat ini. Tapi sepengetahuannya Rosa pernah menjalin hubungan selama tujuh tahun dengan mantan kekasihnya itu. Ia juga mengetahui kalau hubungan masa lalu itu tak direstui orang tua Rosa karena perbedaan suku. Makin yakinlah Doni kalau penelepon di radio itu sebenarnya Rosa, istrinya.
            “Dan pendengar, Mawar bertanya apa sebaiknya ia menyudahi pernikahannya untuk bersatu dengan cinta lamanya? Atau tetap melanjutkan pernikahan ini? Benar begitu, Mawar?”
            “Betul, Bud. Sejak awal, aku tak merasakan cinta terhadap suamiku. Aku berusaha menjalaninya dengan harapan siapa tahu rasa cinta akan tumbuh dengan sendirinya, tapi kenyataannya tak berubah juga. Aku menikahinya untuk alasan yang salah, menyenangkan orang tua kami. Aku sadar dirinya itu lelaki baik-baik. Aku berusaha membalasnya dengan melakukan kewajiban sebagai seorang istri. Tapi hatiku masih terisi dengan cinta masa laluku. Kalau aku menyudahi pernikahan ini, tentu aku akan menyakiti suami yang mencintaiku. Tetapi apa pernikahan ini masih layak dilanjutkan, Bud? Tak adil rasanya untuk suamiku. Aku menjadikannya korban.“
            Doni terkejut mendengarkan pengakuan itu. Setelah semua yang dilakukannya untuk Rosa ternyata tak mampu mendapatkan cintanya. Hatinya pedih karena terluka. Matanya kembali berkaca-kaca. Tiba-tiba Doni merasakan tekanan yang luar biasa menerjang sekujur tubuhnya. Segera kegelapan yang pekat menyelimuti Doni.
* * *
            Masih terkenang siang itu, Rosa turun dari mobil bersandar di bahu mantan kekasihnya. Matanya bengkak dan sembab.
            “Apa air mata Rosa itu benar-benar untukku”, batin Doni. Pedih hati Doni menyaksikan semua itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Sementara pria itu duduk di samping Rosa, disaksikannya Rosa terisak-isak di depan peti matinya.
Dalam hati Rosa mengucap, "Maafkan aku, Mas. Aku baru sadar ternyata cintaku sudah bertumbuh setelah kehilanganmu. Maafkan aku."
            Semalam sebelumnya.
Suara Budi memberitakan, "Pendengar ternyata di jalan protokol di depan gedung kami telah terjadi kecelakaan. Sebuah mobil sedan putih tersambar sedan lainnya berwarna merah."
            Di ujung Surabaya sempat tak juga terbersit kelegaan sesaat setelah ia mencurahkan kegelisahan hatinya. Diletakkannya gagang telepon.
            “Miao!”
Tiba-tiba muncul seekor kucing hitam menatap Rosa tajam sambil berdiri di depan jendela mengejutkan dirinya yang sedang duduk menerawang ke jendela.
“Ah, siapa lagi yang meninggal?” tanya Rosa. Batinnya pun bertambah gelisah.
Terdengar suara Budi kembali, “Mari kita lanjutkan acara dengan membacakan pesan yang masuk. Doni di Jakarta ingin mengirimkan ucapan rindu dan I love you untuk sang istri yang sedang bertugas di Surabaya.”
Tamat

Cerpen ini saya tulis beberapa tahun lalu. Terinspirasi dari kegemaran saya mendengarkan acara di malam hari yang dibawakan oleh penyiar radio favorit saya Rudi Dahlan di radio Female. 

TRAGEDI TUKANG INTIP



Perkenalkan, namaku Tommy. Umurku 34 tahun. Hobiku mengintip. Ya, mengintip telah menjadi kegemaranku sejak di akhir bangku sekolah dasar. Entah mengapa aku begitu terpikat untuk mengintip di balik pakaian yang dikenakan seorang perempuan. Mungkin disebabkan tubuh perempuan itu berbeda dengan tubuhku sendiri sebagai seorang lelaki. Tubuh perempuan terlihat begitu misterius sekaligus menggoda. Saat aku masih berusia kanak-kanak, teman-temanku perempuan membungkus tubuhnya dengan kaos singlet dan miniset dibalik pakaian luar. Anehnya daerah selangkangan mereka hanya tertutup oleh selapis kancut. Menarik, kan? Jika menurut sabda John Mayer, your body is a wonderland, maka aku mengaminkannya dengan sepenuh hati dan jiwa. Tubuh seorang perempuan itu seakan taman bermain yang selalu memikat mataku untuk mengintip dari balik busana yang dikenakannya.
Ada sebuah ungkapan dari orang-orang tua jaman dahulu. Kalau mata ini bintitan itu karena suka mengintip. Apa aku percaya itu? Tentunya tidak! Entah telah berapa kali aku mengintip, pengalaman mataku terserang bintitan tak lebih dari dua kali sepanjang ku hidup. Aku yakin ungkapan itu hanya untuk menakut-nakuti anak-anak supaya mereka tidak mengintip dari balik rok anak perempuan atau bahkan menyingkapkan rok mereka. Betapa bodoh dan penakutnya anak-anak yang percaya akan hal itu. Dan seringkali mereka justru terserang bintitan setelah mengintip hanya karena sugesti saja. Bah, aku bukan orang yang takut dan kuatir terhadap penyakit seperti mata bintitan.
Seandainya aku memang termakan oleh kepercayaan mata bintitan karena mengintip, mungkin aku tak akan bisa menjadi tukang intip profesional seperti saat ini. Ya, aku berani menyebut diriku pengintip profesional karena aku tidak setengah-setengah melakukan hobiku mengintip. Dan aku tak pernah sekalipun tertangkap basah karena hobiku ini. Ini hobiku, dan aku sangat mencintai melakukannya. Aku tak puas jika hanya melihat tubuh seorang perempuan telanjang begitu saja di depan mataku. Aku lebih suka mengintip karena tubuh seorang perempuan terasa lebih misterius. Aksiku mengintip membuat adrenalin meningkat. Itulah sebabnya aku menjadi kecanduan mengintip.
Mengintip memberikanku pengalaman orgasme yang berbeda. Aku bangga dengan aksi mengintipku. Karena tidak semua lelaki mampu melakukan apa yang kulakukan. Dan tidak semua lelaki mampu melihat apa yang sudah pernah kulihat sepanjang umur hidupku. Jika saja setiap perempuan yang kuintip bisa bunting, maka aku pastilah mampu menciptakan bukan hanya rekor dunia tapi satu suku bangsa sendiri. Semua itu karena sudah tak terhitung lagi berapa banyak jumlah perempuan yang sukses kuintip.
Awalnya aku belajar mengintip dengan menjatuhkan pensil dari meja tulis di dalam kelas. Untuk meraih kembali pensil yang terjatuh, tentu aku harus membungkukkan tubuhku. Saat membungkukkan tubuh itulah aku mencuri kesempatan mengintip dengan sedikit menolehkan pandangan mataku ke arah bangku di belakangku. Di deretan bangku belakang seringkali tanpa sadar anak-anak perempuan itu mengangkangkan kedua kaki lebar hingga terungkaplah apa yang ada di dalam rok mereka. Kondisi itu membuatku leluasa memandangi paha mulus dan celana dalam mereka yang berwarna-warni serta beragam motif. Semakin sering kulakukan aku semakin pandai menyamarkan, mempersingkat waktu sekaligus memperluas jangkauan pandangan mataku. Dalam sekali pindai saja aku mampu mengetahui motif dan warna kancut dari setidaknya selusin anak perempuan di kelasku.
Seiring waktu tentu saja bukan hanya kemampuan tetapi juga teknik mengintipku semakin meningkat dan beragam. Jika teman-temanku lelaki hanya meletakkan rautan bundar yang memiliki cermin pada salah satu sisinya, maka apa yang kulakukan selangkah lebih maju dari yang mereka kerjakan. Aku akan membongkar rautan tersebut supaya aku mendapatkan cermin bundar itu. Lalu aku akan menempelkan potongan cermin bundar yang kuambil dari rautan pensil pada ujung sepatuku. Saat kulangkahkan kaki di belakang mereka, kuarahkan ujung sepatuku ke bawah rok murid perempuan yang ada di depanku. Aksi yang mendebarkan itulah yang membuat mengintip lebih menarik dan menantang.
Saat dewasa aku mulai gemar mengintip di tempat umum, seperti di dalam bus yang selalu kutumpangi setiap kali pergi dan pulang bekerja. Tak ada yang lebih menarik di pagi hari saat berangkat kerja menyaksikan wanita pekerja mengenakan rok mini berdiri atau duduk dengan gelisah karena mengetahui tungkai mulusnya sedang menjadi sasaran pandangan lelaki-lelaki lainnya di dalam bus.
Dulu aku sempat menyesali perawakanku yang tergolong pendek untuk ukuran pria pada umumnya. Karena perawakanku yang pendek ini aku pernah beberapa kali ditolak sejumlah gadis cantik yang kusukai. Bukan kebetulan kalau gadis-gadis itu memiliki perawakan yang lebih tinggi dariku saat di bangku SMA dulu. Tapi aku berhasil membalaskan sakit hatiku dengan mengkonfirmasi warna dan motif celana dalam yang sedang dikenakan mereka setiap hari berturut-turut selama seminggu. Mereka tentulah merasa malu dan kesal. Beberapa dari mereka berusaha melaporkanku ke wali kelasnya. Tapi karena tidak ada satupun bukti, aku lolos dari hukuman.
Sekarang aku justru bersyukur dengan ukuran tubuhku yang mungil ini. Di dalam bus aku dengan leluasa mengintip buah dada terbungkus kutang menawan dari sela-sela kancing kemeja yang terpampang tepat di depan wajahku. Saat bis berguncang, seringkali wajahku terbanting pada payudara mereka. Saat kejadian mereka tampak malu karena seringkali hantaman buah dada mereka sempat membekap hidungku. Tapi aku justru menikmatinya. Saat mereka minta maaf aku hanya mesam mesem mesum. Aku yakin 100% kalau ide bantalan udara kembar pada mobil itu diperoleh dari kondisi yang kualami oleh seorang berperawakan pendek seperti diriku.
Bis bukan hanya satu-satunya lokasi sasaranku mengintip. Aku pernah mengintip di toilet umum. Tentu saja menggunakan kaca rautan andalanku yang selalu siap sedia di dalam dompetku. Seringkali aku mengintip melalui lubang ventilasi. Aku sanggup berdiam diri lama menanti korbanku. Semua itu kulakukan supaya diriku tak tertangkap basah sedang mengintip. Kadangkala aku memberikan tip cukup besar kepada para penjaga sehingga mereka percaya dan mengira kalau diriku adalah lelaki terhormat. Aku juga pernah mengintip di kamar ganti pakaian di sejumlah pusat perbelanjaan. Tentu di lokasi semacam itu aku tak dapat menggunakan cermin rautan lagi.
Ya, teknologi yang kugunakan untuk mengintip tak hanya.teknologi primitif seperti cermin rautan. Seiring dengan perkembangan teknologi aku memperlengkapi hobiku dengan perlengkapan berupa gadget paling mutakhir. Mulai dari yang sederhana seperti ponsel berkamera, kamera berukuran super kecil, binokular hingga bolpen berkamera. Sebut saja aku pasti memilikinya. Lengkap dan bukan hanya satu tapi dua buah dari setiap jenisnya. Kenapa dua? Karena jika yang satu rusak, aku masih memiliki cadangan. Sekarang tentu kalian mengerti mengapa aku menyebut diriku pengintip profesional.
Seringkali aku mengarahkan kamera ponsel ke bawah rok mini mereka yang kebetulan berdiri di depanku. Di dalam bus saat jam sibuk, pemandangan penumpang yang berdiri berdesak-desakan merupakan kesempatan emas untuk mengintip di balik rok mini para wanita karir itu. Satu waktu kudapati seorang wanita ternyata tak mengenakan kutang dibalik blouse yang dikenakannya. Aku menyadarinya saat kuintip dari sela-sela kancing bajunya. Pantas saja buah dadanya yang berukuran besar berguncang-guncang sedemikian rupa setiap kali bus berhenti. Aku berhasil mengabadikan salah satu buah dadanya dengan berpura-pura menelepon. Lain waktu pernah kudapati sekali seorang gadis ternyata tak mengenakan kancut, hingga terungkaplah pemandangan menggiurkan itu.
Saat itu dalam hatiku aku langsung bersorak haleluya! Rupanya fenomena gadis-gadis harajuku itu telah mampir juga di Jakarta. Aku mengetahui fenomena ini dari sebuah majalah fesyen dan film Babel yang kutonton. Aku berdoa semoga fenomena ini semakin fashionable di kalangan gadis-gadis Jakarta.
Dan doaku terjawab. Meski aku tak yakin kalau Tuhan akan menjawab doa orang seperti diriku. Tapi bisa jadi Tuhan sedang bermain-main denganku.
Siang itu dalam salah satu bus Transjakarta dari arah Kota aku sedang menuju ke Blok M. Di halte Monas masuklah seorang gadis tinggi semampai. Tubuhnya indah dengan lekuk yang sempurna. Langkah kakinya begitu percaya diri, layaknya seorang model yang sedang berjalan melenggang di atas catwalk. Saat itu bus sedang dalam keadaan sepi penumpang. Gadis itu menghempaskan tubuhnya di bangku persis di seberang bangku yang kutempati. Gadis itu memiliki kulit kuning langsat mulus. Rambut berona pirang kecoklatan menambah kesan kecantikan eksotik pada raut mukanya yang terlihat sangat Indonesia. Gadis itu mengenakan rok mini. Ia kemudian duduk bersilang kaki. Tungkainya terlihat begitu sempurna bagai model iklan stoking di majalah.
Kamipun bertemu pandang. Tatapan matanya begitu menantang. Aku tersipu malu-malu kuda. Tapi kupandangi juga tungkai jenjangnya itu. Kuangkat pandangan mataku. Sembari memandang wajahku, gadis itu mulai menjilat dan menggigit bibirnya. Jantungku makin berdebar kencang. Ia meluruskan kakinya, kemudian perlahan merenggangkan kedua lutut kakinya. Rok yang dikenakannya mulai tersingkap. Adrenalinku mulai memuncak. Tanpa sadar keringat dingin mulai membasahi keningku.
Sesaat tampaklah bagian dalam roknya, aku segera mengangkat wajahku. Gadis itu tersenyum licik dan sinis kepadaku. Sementara aku hanya sanggup tersenyum kecut. Aku segera mengalihkan pandanganku dari wajahnya.
Sialan! Ternyata gadis itu memiliki buah zakar.
* * *


Cerpen ini salah satu cerpen lama yang berusaha saya dokumentasi ulang semenjak komputer terkena bocoran air. Diposting ulang disini sebagai upaya dokumentasi dari sekian cerpen yang pernah saya tulis dan berhasil saya selamatkan dari sela-sela dokumentasi surel yang pernah terkirim dari salah satu akun lama saya.


Saturday, August 25, 2012

S U P R I H

Cerpen saya ini pernah dimuat di majalah Femina November 2006.


Setengah jam berlalu sejak azan maghrib. Di dalam salah satu pondokan di Ledok Ratmakan, Mbok Sanem sedang melahap makan malamnya. Di ruangan seluas dua kali empat meter persegi itu Mbok Sanem tinggal bersama Mbah Menir, ibunya dan Suprih, anaknya, serta tiga teman sekampung. Sesama perempuan buruh gendong di Pasar Beringharjo. Mbah Menir sedang memijat Suprih yang kelelahan setelah seharian menggendong barang jualan seberat 80 kg naik turun tiga lantai. Sementara yang lain sedang tidur-tiduran di atas papan berlapis tikar.
Ini hari pertama Suprih bekerja sebagai buruh gendong. Sejak kecil Suprih sudah dibawa Mbok Sanem ke pasar. Mbok Sanem mengempitnya, mengeloninya. Mbok Sanem juga yang memberikan tenggok dan selendang serta mengajarinya bekerja. Menjadi buruh gendong di Pasar Beringharjo adalah pekerjaan turun temurun. Bagi buruh gendong seperti mereka, kehidupan adalah apa yang dijalani setiap hari. Harapan hanya setinggi bisa makan tiga kali setiap hari, bisa bayar uang WC dan pondokan. Tak peduli beban gendongan 80 kg telah membuat tulang belakang ngilu. Beban gendongan yang harus dipikul naik turun tiga lantai dari pasar ke tempat parkir adalah metafora kenyataan betapa berat hidup buruh gendong perempuan.
 Wong bisanya cuma nggendong thok, ya seberat apapun harus dijalani, Nduk. “ ujar Mbok Sanem menyemangati Suprih.
 Nggendong itu nggak perlu ijazah. Dapat uangnya biar sedikit tapi cepat dan halal. Yang penting badan sehat, kuat, dan nggak malu. “
Masa depan bagi seorang Suprih hanyalah menjadi buruh gendong. Mbah Menir yang sudah berumur sekitar 65-an pun masih terus bekerja. Sebagian besar hasil menggendong habis untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Mbok Sanem kadang bisa menyimpan sedikit uang lebih. Tetapi itupun jarang sekali diperolehnya. Hanya saja Mbok Sanem punya keyakinan sendiri. “ Setiap orang punya rezekinya sendiri-sendiri,“ kata Mbok Sanem kepada Suprih. Dulu Mbok Sanem pernah mencoba berdagang tapi malah terlilit hutang. “ Jadi buruh nggendong biar dapat sedikit tapi rasanya lebih tenteram di hati. Nggak usah ngoyo. Mungkin nasib kita memang cuma sampai di sini. “
* * *
Suatu siang Suprih yang sedang menggendong sekarung bawang, berpapasan dengan Lasmi. Lasmi teman sepermainannya dulu di kampung Wates, daerah Kulon Progo. Lasmi sedang pulang kampung setelah beberapa tahun bekerja di Jakarta. Ia menyempatkan berbelanja di Pasar Beringharjo untuk melepas kangen suasana pasar. Sifat Lasmi tetap tidak berubah, tetap ramah dan hangat seperti dulu. Ia yang menyapa Suprih dulu.
 Suprih!!,” teriak Lasmi melihat Suprih yang sedang menurunkan sekarung bawang dari gendongannya. Suprih pangling melihat cara dandan dan berpakaian Lasmi yang tampak lebih mewah di matanya. Lasmi memakai kaos dan celana jeans, sementara dirinya hanya mengenakan kain batik dan kebaya tua lungsuran Mbok Sanem.
 Kasihan kamu, Prih. Berat sekali gendonganmu. Apa Simbok dan Simbah masih nggendong juga?, “ tanya Lasmi.
 Ya Las, sudah turunan. Apalagi yang bisa dikerjakan selain nggendong. Nggak butuh ijazah tinggi. Yang penting sehat, kuat dan nggak malu. Yaa biar duitnya sedikit yang penting halal dan cepat dapatnya, “ jawab Suprih mengulang kata-kata Mbok Sanem.
 Kamu kok betah toh di sini? Duitnya kan nggak seberapa. Cepat habis lagi buat hidup sehari-hari. Apa kamu ndak kasihan sama Simbok dan Simbah yang masih mesti nggendong puluhan kilo di umur setua itu? Kamu ndak mau ikut aku ke Jakarta? Uangnya lebih banyak lho. Gampang lagi dapatnya. Seminggu kamu bisa mendapat ratusan ribu. Bisa kamu simpan dan kasih ke Simbok dan Simbah. Di sini paling kamu dapat berapa sih? Bukan mau ngenyek, tapi kamu tahu sendiri kerja seperti ini kan kamu ndak bisa pasang tarif seperti yang kamu mau. Di Jakarta bisa. Di sini dapat uang lebih itu kalau ada langganan yang bermurah hati saja. Di Jakarta asal kamu kasih
servis lebih, tipnya besar lho. “
Perkataan Lasmi jelas menggoda Suprih untuk mengambil keputusan pergi ke Jakarta. Suprih benar-benar terlena dengan penjelasan Lasmi. Suprih juga ingin membantu Simbok dan Simbah. Suprih tidak ingin uang banyak. Uang banyak belum tentu tenteram. Tapi Suprih juga ingin kaos dan celana jeans. Suprih ingin melihat Jakarta dan membuktikan di sana ia dapat dengan mudah mendapatkan uang banyak supaya Simbok dan Simbah bisa hidup tenang di kampung.
 Memang kamu kerja apa di Jakarta, Las?, “ tanya Suprih dengan polosnya.
 Eh, ehmm… jadi pelayan Prih. Enak kerjanya di tempat kayak restoran begitu. “
 Oohhhh… “
* * *
 Kamu yakin mau ke Jakarta, Nduk? “ tanya Mbok Sanem.
 Iya Mbok. Aku mau cari kerjaan yang lebih baik supaya SiMbok dan SiMbah nggak usah nggendong lagi. Bisa hidup lebih tenang di kampung, “
 Tapi Simbah dan Simbok sudah nrimo kok hidup seperti ini. Kamu ndak usah repot mikiran Simbok dan Simbah. Kalau hari ini cuma bisa makan nasi pakai daging syukur. Tapi kalau besok harus makan nasi sama tempe tok ya tetap bersyukur masih bisa makan. Kalau pun Simbok atau Simbah sakit masih ada Yu Yatin, Mbah Besur dan Yu Rubiyem yang mau mijetin dan membagi makanan, “ tambah Mbah Menir.
 Tapi kalau kamu sudah niat ya nggak apa-apa. Simbok dan Simbah rela kok. Yang penting kamu bisa jaga diri. Ingat lho Nduk. Hati-hati di Jakarta banyak orang jahat. Ini ada sedikit uang buat ongkos berangkat ke Jakarta. Kalau kurang kamu bisa jual kain batik lama punya Simbah. Lumayan kalau dijual bisa buat nambah ongkos.“
 Terima kasih, Mbok. Terima kasih ya, Mbah, “ jawab Suprih sambil meremas tangan Mbah Menir dengan erat.
* * *
Sebenarnya ada sedikit keraguan terbersit di hati Suprih untuk berangkat ke Jakarta. Restu Simbok dan Simbah justru mengurangi semangatnya. Ada perasaan tidak enak mengganjal di hatiya. Tetapi Suprih sudah mengambil keputusan dan sekarang sudah sampai di Jakarta bersama dengan Lasmi. Lasmi akan membawanya ke pondokan tempat Lasmi tinggal dan mengenalkannya kepada Mami pemilik pondokan itu.
 Prih, ini Mami yang akan menampung kamu kerja di sini. Mam, ini Suprih yang saya ceritakan itu, “ kata Lasmi menjelaskan kepada Mami.
 Wah cantik seperti putri Solo. Eh, tapi kamu bukan putri Solo ya tapi putri Yogya. Ya sudah Las, nanti malam kamu pinjamin dulu baju kamu. Sekarang si Suprih dipotong dulu saja rambutnya. Bikin model shaggy biar cantik seperti Alya Rohali. Sana ajak Suprih ke salonnya Andri. Oh ya minta Andri melulur Suprih sekalian biar wangi. Nanti malam ada tamu penting datang. Kamu juga kalau mau lulur boleh Las. Biar Mami yang bayar nanti. Suprih nanti malam kamu mulai kerja ya?! Biar bisa cepat kirim uang untuk Simbok dan Simbah kamu di Yogya. “
 Ya Bu, “ jawab Suprih sambil tersenyum. Suprih senang. Seumur-umur ia belum pernah masuk salon.
Sementara dilulur, Suprih merasa bersalah. Suprih teringat Mbah Menir yang suka memijat dirinya kalau ia tampak lelah. Suprih jarang memijat Mbah Menir yang justru lebih sering minta dipijat sama Mbah Besur. Sementara rambut Suprih dipotong, teringat ia saat Mbok Sanem mengurus rambutnya yang panjang mencapai pinggang. Biasanya Mbok Sanem yang mengoles rambutnya dengan kemiri atau santan. Rambutnya jarang dipotong. Cukup digelung saja. Ada rasa sedih karena kangen akan suasana di pondokan. Padahal ia belum lagi sehari menjejakkan kaki di Jakarta.
Tetapi bayangan penampilan baru Suprih yang tampak di cermin segera menghapus kesedihan itu diganti dengan seulas senyum di wajahnya. Terhapus sudah rasa kangen itu dengan rasa kagum akan kecantikan dirinya sendiri. Suprih tidak menyangka ia bisa secantik ini hanya dengan model potongan rambut yang baru. Padahal ia masih mengenakan blus dan rok tua yang diberikan anak perempuan pedagang besar tempat ia bekerja.
 Wah, kamu jadi tampak cantik sekali Prih! “ ujar Lasmi berseri-seri melihat hasil temuannya. Sudah terbayang di benak Lasmi bonus besar dari Mami karena berhasil membawa primadona baru dari kampung yang akan menambah pemasukan Mami. Suprih hanya tersenyum malu-malu. “ Mami pasti senang melihat penampilan kamu yang baru. Ayo kita pulang dan pilih baju yang akan kamu pakai nanti malam. Andri, terima kasih ya. Ongkosnya nanti minta sama Mami saja. “
 Oke deh kakak. Nanti akika minta sama Mami,” jawab Andri manja.
* * *
 Kamu pakai yang ini saja, Prih! “ kata Lasmi sambil menyodorkan sebuah gaun terusan hitam tanpa lengan. “ Sepatunya pakai yang hitam saja. Biar serasi.”
Suprih melepas kemeja dan roknya. Menggantinya dengan gaun hitam itu. Ada perasaan aneh terbersit di hatinya. Gaun ini sangat terbuka sampai bahu, punggung, lengan dan sebagian belahan dadanya terlihat. Ada rasa risih dan malu mengenakan gaun hitam itu. Dalam hati Suprih bertanya restoran seperti apakah yang pakaian pelayannya seperti ini?
 Sekarang kamu ke sini biar aku dandanin. “
Suprih berjalan kaku dalam sepatu dengan hak setinggi 9 cm. Suprih melihat bayangan dirinya sendiri yang bertambah tinggi di dalam cermin. Ada rasa bangga melihat dirinya terlihat seperti perempuan di dalam majalah di salon.
 Nanti nama kamu diganti dulu jadi Shanti. Biar keren seperti penyanyi Shanti. Ingat ya Shanti. Jadi jangan lupa pas dipanggil,“ ujar Lasmi sambil memoles wajah Suprih. “ Jangan lupa tersenyum. Kalau jalan yang anggun. Nanti aku tunjukkan sama kamu. Nah, beres sudah make up-nya. Nah, begini lho jalannya. “ Lasmi memperagakan cara berjalan yang anggun seperti kucing. “ Sekarang kamu coba! “
Suprih pun mencoba melangkahkan kaki seperti kucing dengan sepatu haknya yang tinggi itu. “ Masih agak kaku, tapi ya sudahlah. Nanti lama-lama kamu juga bakal terbiasa. Sekarang ayo kita berangkat. Mobil jemputan sudah menunggu. “
Mobil itu membawa Suprih, Lasmi dan teman-teman barunya ke kawasan Kota. Restoran itu remang-remang suasananya. Suprih disuruh menunggu bersama yang lain sambil memegang kartu dengan nomor 18 dalam sebuah ruangan dengan kaca. Di dalam ruangan itu Suprih bisa melihat di ruangan sebelah beberapa lelaki sedang melihat-lihat ke arah mereka. Seorang lelaki rapi berkulit putih agak gemuk melihat kepadanya terus.
 Shanti kamu ke sini! “ panggil Mami. Suprih berjalan ke ruangan sebelah tempat Mami dan lelaki itu berdiri. “ Shanti kamu temanin Bapak ini ya! Pak Tommy kenalkan ini Shanti. Shanti ini pak Tommy. Ayo salaman Shanti. Maaf Pak, Shanti masih baru di sini jadi masih malu-malu. Silahkan Pak, kamarnya nomor 501“
Lelaki itu menggenggam tangan Suprih dan menggandengnya menuju kamar bernomor 501. Ada tempat tidur di sana. Lelaki itu mengajak Suprih mengobrol. Tetapi pikiran Suprih melayang ke pasar Beringharjo. Bayangan Simbok dan Simbah menggendong karung seberat 50 kg berjalan menuruni tangga pasar. Ada rasa berontak di dalam hatinya saat lelaki itu mulai membuka pakaiannya.
Terngiang suara Simbok dan Simbah di benaknya, “ Tapi SiMbah dan SiMbok sudah nrimo kok hidup seperti ini. Kamu ndak usah repot mikiran Simbok dan Simbah. Kalau hari ini cuma bisa makan nasi pakai daging syukur. Tapi kalau besok harus makan nasi sama tempe tok ya tetap bersyukur masih bisa makan. Kalau pun Simbok atau Simbah sakit masih ada Yu Yatin, Mbah Besur dan Yu Rubiyem yang mau mijetin dan membagi makanan. Yang penting kamu bisa jaga diri. Ingat lho Nduk. Hati-hati di Jakarta banyak orang jahat. “
Air matanya mengalir saat lelaki itu mulai menggauli tubuh Suprih. Teringat kata-kata Lasmi. “ Apa kamu ndak kasihan sama Simbok dan Simbah yang masih mesti nggendong puluhan kilo di umur setua itu? Uangnya lebih banyak lho. Bisa kamu simpan dan kasih ke Simbok dan Simbah supaya mereka nggak harus nggendong terus. Seminggu kamu bisa mendapat ratusan ribu. Di Jakarta asal kamu kasih servis lebih, tipnya besar lho. “
Keringat lelaki itu bercampur dengan air mata Suprih. Suara Simbok kembali terngiang di kepala Suprih. “ Nggendong itu nggak perlu ijazah. Dapat uangnya biar sedikit tapi cepat dan halal.”
* * *
Sementara itu di pondokan Mbok Sanem di Ledok Ratmakan.
Praanggg……
Terdengar suara gelas pecah akibat Mbok Sanem menyenggolnya tanpa sengaja sampai jatuh. “ Aduh ada apa ya sama Suprih ya Mbah? Aku takut ini pertanda buruk. “
 Sudah kita berdoa saja supaya Suprih selamat. Dia kan berangkat dengan niat baik, “ harap Mbah Menir.

TAMAT

KEKASIH SETENGAH JAM


            RING!
            Aku terhenyak dari lamunanku. Kuraih ponsel tuaku dari atas meja tempat aku meletakkannya. Aku melepaskan sambungan kabel pengisi batere dari ponsel ini yang sudah sedikit melingkar tak keruan. Kutekan salah satu tombol untuk membuka kunci ponselku dan mulai mencari tahu siapa yang baru saja membunyikan bel.
            Indra Sandy
            Kuketikkan balasan di dalam kolom pesan.

Ada apa, Mas?
                                                                                                                        Date yuk?
Dimana? Kapan?
Sore ini, kamu ke tempat biasa aja.
Aku sampai di situ sekitar jam 5 sore setelah pulang meeting.
Oke, nanti aku ke sana.

            Aku segera bangkit dari tempat tidurku. Kulangkahkan kaki keluar menuju teras dan mengambil handuk dari tempat jemuran. Aku segera masuk ke kamar mandi dan mengguyurkan air dingin dari dalam bak dengan gayung. Rasanya begitu menyegarkan. Kululurkan pasta scrub ke seluruh tubuhku kemudian menggosokkan sampo ke seluruh bagian rambutku hingga berbusa. Beberapa menit kemudian aku membilas tubuhku dengan guyuran air dingin. Kucukur bulu di ketiakku, rambut-rambut tipis di dada hingga perut. Rambut kemaluanku yang tumbuh tak beraturan kucukur hingga tipis dan rapi. Tak lupa jambang, jenggot dan kumisku kucukur hingga mulus tak berbekas.
            Sore ini aku harus tampil prima untuk Mas Indra.
            Segera kukeringkan rambutku dengan handuk. Kutuangkan sedikit hair tonic ke tanganku, kemudian kuusapkan ke seluruh rambutku. Aku membasuh kedua tanganku dengan air kemudian mulai menuangkan after shave murah ke tangan dan mengusapkannya ke kedua permukaan bekas bercukur tadi. Tanganku meraih deodorant dari rak dan mulai mengosokkannya pada kedua ketiakku. Kemudian kuletakkan kembali ke atas rak dan meraih sebotol body lotion kelas minimarket. Aku menuangkan isinya kemudian mengoleskannya ke permukaan kulit tubuh juga kedua tangan dan kakiku. Rasanya begitu wangi menyegarkan. Tapi ini belum cukup untuk menemui seorang seperti Mas Indro.
            Kugunting seluruh kuku kaki dan tanganku agar terlihat lebih rapi. Kemudian kusemprotkan body spray ke seluruh tubuhku. Sedikit parfum dengan aroma senada kusemprotkan ke bagian rambut kemaluanku, pergelangan tangan juga sekitar samping leher.
            Kali ini baru aku merasa cukup dan percaya diri. Kuambil sehelai polo shirt berona biru kelabu dan celana jins yang masih terlipat rapi dari ambalan di dalam lemari. Kurapikan penampilanku. Tak ada gunanya mengenakan pakaian dalam di balik jins ini. Aku selalu merasa seperti lagu Mulan, bagai mahluk Tuhan yang paling seksi saat hanya mengenakan jins ketat ini tanpa pakaian apapun lagi dibaliknya .
            Aku merasa begitu bergairah. Bayangan tubuh Mas Indra yang gempat berotot membuatku menjadi bersemangat.
* * *
            Aku mengenal Mas Indra secara online setahun yang lalu lewat salah satu media sosial khusus untuk kaum sejenis.  Ia menyapaku melalui jalur pribadi dan mengajakku berkenalan.  Tak butuh waktu lama untuk kami berdua bertukar nomor telepon. Dan mulailah dirinya menghubungiku dan bertanya-tanya. Mungkin lebih tepatnya menginterogasiku.
            “ Sudah lama begini? “
            “ Berat dan tinggi kamu? “
            “ Tinggal dengan siapa? “
            “ Tinggal dimana? “
            Dan daftar pertanyaan masih terus berlanjut secara mendetil. Hingga akhirnya
            “ Kita bisa bertemu, nggak? “
            “ Bisa, Mas. Dimana? Jam berapa? “
            Sejak saat itulah aku rutin bertemu dengan dirinya setiap kali ia harus bertugas di Jakarta.
          Aku ingat sore itu jantungku mulai berdetak kencang setelah percakapan melalui ponsel itu diakhiri. Seperti hari ini, aku mempersiapkan diriku sebaik-baiknya. Aku tak ingin memberi kesan pertama yang buruk. Tapi itu bukan satu-satunya alasan mengapa jantungku berdegup kencang. Ia adalah yang pertama bagiku.  
       Pertemuan pertama memang selalu membuat jantung ini deg-degan. Aku tak pernah tahu persis bagaimana rupanya. Aku tak pernah meminta foto dirinya. Ia hanya meminta foto diriku. Aku kuatir dan sedikit takut. Bagaimana kalau dirinya ternyata buruk rupa hingga membuatku kehilangan minat? Bagaimana kalau ternyata karakternya tak seperti kesan yang ditampilkannya melalui media online? Bagaimana kalau ternyata dia seseorang yang keras dan temperamental? Bagaimana kalau ternyata dia suka main tangan?
            Sejumlah bayangan buruk mulai berkelebat dalam otakku saat itu.
         Aku ingat mengendarai motor dan memarkirnya tepat di halaman depan salah satu minimarket berlokasi di seberang lokasi pertemuan kami. Setelah menyerahkan sedikit tip kepada tukang parker, aku menyeberangi jalan dengan sedikit keraguan menyelip di dalam hati. Ingin rasanya melangkahkan kaki kembali. Tapi aku harus melakukannya. Aku tak mungkin kembali lagi.
            Kudorong pintu kaca dan masuk ke dalam ruangan yang dinginnya cukup untuk membuat tubuh menggigil. Tapi aku justru merasakan butir-butir keringat mengalir di punggungku. Aku gelisah. Kutebar pandangan menyusuri seluruh penjuru ruangan. Berusaha memindai siapa tahu ada yang kukenal di tempat ini. Aku dapat merasakan tatapan mata curiga petugas keamanan berseragam safari biru tua.
            Kulangkahkan kaki menuju salah satu kursi di tengah ruangan. Kuhempaskan tubuhku ke kursi itu dan mengambil ponselku. Aku berusaha menyibukkan diri dengan membaca linimasa twitter-ku. Sesekali kuangkat kepalaku dan menebar pandangan ke penjuru ruangan.
            Kukirimkan pesan singkat melalui sms.

Aku sudah sampai, Mas. Aku tunggu ya.
OK. Sebentar ya!
Saya sudah di perjalanan. Sebentar lagi sampai.

Aku duduk manis menanti kedatangannya.
Berharap.
Berharap apakah orang yang berdiri di sana itu seperti dirinya? Atau seperti pria yang sedang berjalan meninggalkan resepsionis?  Aku terus berusaha membayangkan rupanya.
Hingga…
Tiba-tiba seorang pria, bertubuh sedikit gemuk, berkulit putih dan tingginya sedikit lebih pendek dariku berdiri di hadapanku tanpa kusadari. Ia mengenakan kemeja lengan panjang warna biru muda, pantalon berona abu-abu muda serta berkacamata dengan bingkai perak.
“ Hai! “ sapanya dengan nada rendah dan dalam. Senyumnya tampak ramah.
“ Ya, Mas Indra? “ Dalam hati aku merasa lega. Ia jauh lebih baik dari apa yang kubayangkan. Kuulurkan tangan kananku. Dan ia menyambutnya dengan menggenggam tanganku erat.
“ Ayo ikut saya! “
* * *
Sebelum berangkat aku berdoa dalam hati, “Tuhan ampuni aku. Mohon lindungan-Mu.”
            Aku mengeluarkan motor bebek hitamku ke pinggir jalan. Kukunci pagar rumah. Kemudian menyalakan motorku dan mulai menyusuri jalanan menuju tempat Mas Indro. Seperti biasa aku memarkir motorku tepat di halaman depan salah satu minimarket berlokasi di seberang lokasi pertemuan kami. Setelah menyerahkan sedikit tip kepada tukang parkir, aku menyeberangi jalan dengan sedikit keraguan menyelip di dalam hati. Ingin rasanya melangkahkan kaki kembali. Tapi aku harus melakukannya. Aku tak mungkin kembali lagi.
            “ Ayo ikut saya! “
Akupun melangkahkan kaki mengikuti dirinya, menaiki tangga escalator. Aku sedikit bergidik. Aku dapat merasakan tatapan penuh arti dari petugas keamanan dan gadis-gadis di balik meja resepsionis.
“ Sudah menunggu lama? “
Dadaku masih berdegup kencang.
“ Ehm… Belum kok, Mas. “
Aku kembali merasakan keringat dingin mengalir di punggungku.
“ Aku kangen banget. “
Aku merasakan segalanya dalam diriku berkecamuk. Sebagian otakku mengatakan aku harus terus berjalan dan melakukan hal ini. Tapi hatiku menolak untuk melakukannya.
“ Aku juga, Mas. Lama sekali Mas nggak ke Jakarta. Biasanya rutin tiap bulan. “
“ Iya, kebetulan lagi jarang dapat tugas nih. “
Kami melangkahkan kaki menyusuri lorong panjang remang-remang. Ia kemudian berhenti di depan salah satu pintu dan membukanya dengan kunci di tangannya. Kemudian Mas Indro mengajakku masuk.
* * *
            Aku terkenang saat awal-awal perkenalan kami. Puji dan rayu mengalir di udara terbawa gelombang elektromagnet dari jari-jemarinya ke layar ponselku.
            Kamu gemesin!
            Sepertinya kamu nggak pernah terlihat jelek ya?
            Pakai apapun kamu terlihat selalu menarik.
            Belum ketemu tapi aku sudah kangen kamu!
            Itu hanya sebagian dari sederetan kalimat yang membuat hatiku berbunga-bunga saat membacanya.
            Menyedihkan sekaligus melambungkan. Itu realitas bagaimana ilusi akan kehadiran seseorang buatku terasa nyata sekaligus maya. Dia ada tapi jauh dari rengkuhanku. Seakan apa yang ada di benakku tentang seorang pria impian akan mampu dipenuhinya.
            Padahal……
* * *
Aku mendahuluinya masuk ke dalam kamar. Ia menyusul di belakangku, kemudian menutup pintu dan menguncinya.
Aku berdiri, terdiam mematung.
Ia meraih tanganku, menggenggamnya dan menarikku menuju ke ranjang. Kemudian ia mendorongku hingga aku terjatuh di atas ranjang.
“ Kamu begitu menggairahkan malam ini!”
Aku tak mampu menjawab pujiannya itu. Bibirku terkunci oleh lumatan bibirnya. Tangannya menelusuri seluruh tubuhku. Dengan liar ia membuka seluruh pakaianku. Tak segan-segan ia menggigit, memukul dan menamparku dengan kasar.
Ah Tuhan, kurasa aku pantas mendapatkan siksaan ini.
Suara desahan maupun lenguhannya
Tubuhnya menindihku berulang-ulang. Ia terus menekan sembari melayangkan tangannya dengan kasar ke seluruh tubuhku. Wajahku terasa panas terkena tamparan tangannya. Bukan hanya wajah, bahkan bokongku terasa panas akibat tamparan telapak tangannya yang bertubi-tubi.  
Tak butuh waktu lama untuk Mas Indra mencapai klimaks.
Lenguhannya cukup keras hingga menutup suara tertahanku menahan perih di bokongku. Wajahnya memerah. Kedua matanya tertutup menahan kenikmatan yang hanya berlangsung beberapa detik. Sementara aku dapat merasakan wajahku memerah menahan sakit.
Ia kemudian melepaskan diriku dari sengatan kelaminnya yang melunglai. Berdiri meninggalkan ranjang dan berjalan menuju ke kamar mandi.
Aku meringkuk di atas ranjang. Perih ini masih akan kurasakan selama beberapa hari ke depan. Kudengar alunan suara Mas Indra bernyanyi dengan sumbang. Tak lama kemudian ia keluar dari kamar mandi. Aku segera bangkit meninggalkan ranjang dan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari peluh dan pejuh yang melekat di tubuh. Setelah itu aku segera keluar dan memungut pakaianku yang berserakan di atas karpet. Kukenakan pakaianku dengan terburu-buru karena melihat Mas Indra telah berpakaian lengkap duduk menungguku di samping ranjang.
“ Terakhir aku kasih kamu berapa ya? ” tanya Mas Indra.
“ Dua ratus, Mas, “ jawabku.
“ Nih, aku kasih dua ratus lima puluh ya? “ ujarnya sambil mengulurkan lima lembar uang lima puluh ribuan.
“ Terima kasih, Mas! ” jawabku sembari menyambut pemberiannya.
“ Terima kasih ya, “ lanjutnya lagi. Ia kemudian berjalan ke arah pintu kamar dan membuka kuncinya.
“ Sama-sama, Mas. “
Aku mengerti pertanda itu. Ia tak ingin menghabiskan waktu berlama-lama lagi dengan diriku. Tak ada foreplay, jadi tak perlu bermimpi akan ada afterplay. Aku melangkahkan kaki dan keluar melalui pintu itu tanpa pernah membalikkan badan lagi.
Di hotel ini, sekeluarku dari pintu kamar, kami haruslah seperti dua orang asing yang tak pernah saling mengenal. Di lorong hotel aku berpapasan dengan salah seorang pembersih kamar. Matanya mengarah kepadaku dengan penuh tanda tanya. Aku menanggapinya dengan wajah dingin.
Haruskah aku merasa malu? Sedikit malu masih terselip di dalam lubuk hati terdalam. Rasa itu terbenam dibawah lapisan rasa sedih dan galau. Tak mungkin nasib Julia Roberts dalam Pretty Woman akan menjadi kenyataan dalam hidup gigolo ini.
Aku butuh sayang tapi juga butuh uang.
Bukan di saat yang akan datang tapi sekarang.
Sebelum diriku kehabisan pangan dan mati kekurangan.
Aku hanya kekasih setengah jam.
T A M A T