Monday, May 19, 2014

LEWAT RADIO



Masih terkenang dalam benak Doni malam itu, seorang diri mengendarai mobil di tengah sepinya jalan protokol ibukota. Suara penyiar radio mengalun di udara menemaninya dalam perjalanan pulang dari kantor.  Kebiasaannya mendengarkan radio tersebut akibat tertular kebiasaan Rosa, sang istri. Malam itu penyiar radio favorit Rosa sedang berbagi cerita dengan para pendengarnya. Dibacakannya pesan-pesan yang masuk. Seorang pendengar mengirim berita bahagia akan kehamilan yang sekian tahun ditunggunya. Pendengar lain menyatakan cinta untuk sang suami yang membantunya mengalahkan kanker. Tanpa sadar mata Doni pun mulai berkaca-kaca. Diraihnya ponsel dan ditekannya nomor telepon radio tersebut.
* * *
Masih terkenang dalam benak Rosa malam itu, malam terakhir ia dan Doni bersama berdua. Malam itu Rosa akan berangkat ke Surabaya untuk tugas kantor selama 3 bulan. Dengan terbentangnya jarak secara fisik, akankah Rosa menjadi semakin asing bagi Doni? Doni sempat menyatakan kekuatirannya akan kehilangan Rosa. Akhir-akhir ini Doni merasa istrinya itu makin terpaut jarak di dalam hati. Meskipun seranjang setiap malam, tetap saja Doni terasa tak pas di hati Rosa. Doni memeluk tubuh Rosa erat dan mengecup kedua pipinya. Entah mengapa ia merasa akan kehilangan Doni.   
“Kamu masuk saja, Say. Daripada nanti tergesa-gesa,” pinta Doni kepadanya untuk masuk ke ruangan boarding
            “Aku pergi dulu ya, Mas. Mas jaga diri baik-baik.“ balas Rosa sembari membalas mengecup kedua pipi Doni. Rosa segera berbalik, berjalan sambil menarik kopor. Rosa yang sedikit gelisah, merasa ingin segera saja berlalu meninggalkan Doni. Ia sudah tak sabar tiba di Surabaya. Doni pun merasakan kegelisahan Rosa. Ini kali pertama lewat dua tahun pernikahan mereka, Rosa harus pergi sekian lama meninggalkan Doni sendiri.
* * *
           Masih terkenang dalam benak Rosa malam itu, malam pertama kali mereka bertemu. Rosa mengenal Doni karena perjodohan kedua orang tua mereka. Semula Rosa tidak terlalu antusias dengan perjodohan itu. Dikenakannya gaun terusan hitam tanpa lengan. Dengan kalung emas putih menghias leher jenjangnya serta sepasang anting mutiara bergantung di kedua daun telinganya. Dalam kesederhanaannya, Rosa ternyata malah memikat Doni.
            “Hai, aku Doni,” serunya sambil mengulurkan tangan kepada Rosa.
            “Aku Rosa,“ ujar Rosa dengan memasang wajah dihiasi senyum terpaksa sembari menyambut uluran tangannya. 
            Sejak saat itu Doni jadi sering mengunjungi rumahnya. Menjemput Rosa pulang dari kantor. Mengajaknya makan malam berdua. Menemaninya berbelanja. Mengajaknya menonton film di bioskop.  Doni dengan senang hati melakukan semuanya untuk Rosa. Ia berusaha untuk merengkuh hati Rosa. Doni ingin mendapatkan cintanya.
Semua terasa berjalan begitu alami bagi Doni. Sementara buat Rosa sendiri semua ini dijalaninya dengan sikap terbuka hanya untuk menyenangkan hati orang tuanya. Rosa berusaha membalas perlakuan Doni kepadanya dengan kehangatan. Meski ada perbedaan diantara mereka, bagi Doni hidup terasa begitu sempurna. Tapi lain halnya dengan Rosa. Doni terlalu bahagia hingga tak menyadari apa yang akan dihadapinya karena masa lalu Rosa. Dalam hati Rosa masih terdapat ganjalan karena cerita cinta masa lalunya. Tak disadari Doni betapa kuat cinta masa lalu Rosa.  
Pikir Doni, "Aku telah berhasil mendapatkan cinta Rosa."
* * *
Masih terkenang dalam benak Rosa malam itu, saat Doni melamar dirinya menjadi pendamping hidupnya.
            “Ros, maukah kau menjadi istriku?“ tanya Doni kepadanya dengan penuh harap.
            Rosa terdiam sejenak karena terkejut. Keraguan sempat terbersit dalam hatinya sebelum ia kemudian memutuskan untuk menjawab, “Ya, aku mau.“
“Terima kasih, Ros. Terima kasih.” Hanya itu yang sanggup keluar dari bibir Doni. Lanjutnya lagi,"Aku menyayangi dan mencintaimu, Ros." Tak dapat disembunyikan Doni rasa bahagia yang meluap. Sepanjang sisa malam itu raut muka Doni tersenyum-senyum lebar seperti orang gila.
            Bulan kesepuluh hari ketujuh di tahun kedua sejak pertemuan pertama mereka, pesta pernikahan pun dilangsungkan. Tak dapat disangkal betapa wajah keempat orang tua mereka begitu berbinar saat pesta berlangsung. Tetapi raut wajah Rosa sendiri tak begitu berbinar. Pikir Doni mungkin akibat kelelahan dengan serangkaian prosesi adat. Seandainya Doni tahu alasan yang sebenarnya dibalik itu. Hati Rosa sedikit merasa galau.  Terbayang dalam benak Rosa, semestinya bukan Doni dan kedua orang tuanya yang berada di pelaminan bersamanya. Seharusnya lelaki lain, cinta dari masa lalunya.
* * *
            Masih terkenang dalam benak Rosa malam yang penuh kegelisahan itu. Sudah dua tahun berjalan sejak hari pernikahan mereka. Dinyalakannya radio lewat ponselnya. Diarahkannya tune ke gelombang radio satu kelompok dengan radio yang biasa didengarkannya di Jakarta. Acara radio kesukaannya itu disiarkan langsung di lima kota besar, termasuk Surabaya. Kali ini ia membulatkan tekad untuk menghubungi sang penyiar radio, Budi Dalian, untuk mecurahkan isi hatinya.
“Malam ini kita mendapat pengakuan yang jujur dari salah seorang pendengar yang tengah berada di Surabaya untuk urusan kantor.” Suara Budi penyiar yang mengasuh acara radio tersebut mulai berkumandang di udara. "Saya di studio sebenarnya terkejut dengan pengakuannya. Itulah sebabnya saya memutuskan untuk mengangkat kisahnya. Di ujung telepon sudah ada, ehm kita sebuat saja namanya, Mawar. Mari kita dengarkan kisahnya. Mawar, sudah berapa lama menikah?“ lanjut Budi
            “Sudah dua tahun, Bud,” jawab suara wanita di ujung Surabaya.
           Sementara Doni pun turut mendengarkan acara radio yang sama di Jakarta sembari mengendarai mobil dalam perjalanan pulang dari kantor. Doni sedikit terperanjat mendengar kemiripan suara wanita itu dengan suara Rosa. Namanya pun memiliki arti yang sama meski berbeda bahasa. Mungkin hanya kebetulan, batin Doni. Tapi ini sudah dua kebetulan kemiripan. Hatinya mulai gelisah. 
“Di Surabaya, Mawar bertemu kembali dengan cinta pertama yang tidak direstui orang tua karena perbedaan suku. Berapa lama dirimu sempat menjalin hubungan dengan pria ini, Mawar?“
            “Tujuh tahun, Bud.“
            Kebetulan yang ketiga dan keempat membuat hati Doni terpukul. Meski ia tak tahu dimana mantan kekasih Rosa saat ini. Tapi sepengetahuannya Rosa pernah menjalin hubungan selama tujuh tahun dengan mantan kekasihnya itu. Ia juga mengetahui kalau hubungan masa lalu itu tak direstui orang tua Rosa karena perbedaan suku. Makin yakinlah Doni kalau penelepon di radio itu sebenarnya Rosa, istrinya.
            “Dan pendengar, Mawar bertanya apa sebaiknya ia menyudahi pernikahannya untuk bersatu dengan cinta lamanya? Atau tetap melanjutkan pernikahan ini? Benar begitu, Mawar?”
            “Betul, Bud. Sejak awal, aku tak merasakan cinta terhadap suamiku. Aku berusaha menjalaninya dengan harapan siapa tahu rasa cinta akan tumbuh dengan sendirinya, tapi kenyataannya tak berubah juga. Aku menikahinya untuk alasan yang salah, menyenangkan orang tua kami. Aku sadar dirinya itu lelaki baik-baik. Aku berusaha membalasnya dengan melakukan kewajiban sebagai seorang istri. Tapi hatiku masih terisi dengan cinta masa laluku. Kalau aku menyudahi pernikahan ini, tentu aku akan menyakiti suami yang mencintaiku. Tetapi apa pernikahan ini masih layak dilanjutkan, Bud? Tak adil rasanya untuk suamiku. Aku menjadikannya korban.“
            Doni terkejut mendengarkan pengakuan itu. Setelah semua yang dilakukannya untuk Rosa ternyata tak mampu mendapatkan cintanya. Hatinya pedih karena terluka. Matanya kembali berkaca-kaca. Tiba-tiba Doni merasakan tekanan yang luar biasa menerjang sekujur tubuhnya. Segera kegelapan yang pekat menyelimuti Doni.
* * *
            Masih terkenang siang itu, Rosa turun dari mobil bersandar di bahu mantan kekasihnya. Matanya bengkak dan sembab.
            “Apa air mata Rosa itu benar-benar untukku”, batin Doni. Pedih hati Doni menyaksikan semua itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Sementara pria itu duduk di samping Rosa, disaksikannya Rosa terisak-isak di depan peti matinya.
Dalam hati Rosa mengucap, "Maafkan aku, Mas. Aku baru sadar ternyata cintaku sudah bertumbuh setelah kehilanganmu. Maafkan aku."
            Semalam sebelumnya.
Suara Budi memberitakan, "Pendengar ternyata di jalan protokol di depan gedung kami telah terjadi kecelakaan. Sebuah mobil sedan putih tersambar sedan lainnya berwarna merah."
            Di ujung Surabaya sempat tak juga terbersit kelegaan sesaat setelah ia mencurahkan kegelisahan hatinya. Diletakkannya gagang telepon.
            “Miao!”
Tiba-tiba muncul seekor kucing hitam menatap Rosa tajam sambil berdiri di depan jendela mengejutkan dirinya yang sedang duduk menerawang ke jendela.
“Ah, siapa lagi yang meninggal?” tanya Rosa. Batinnya pun bertambah gelisah.
Terdengar suara Budi kembali, “Mari kita lanjutkan acara dengan membacakan pesan yang masuk. Doni di Jakarta ingin mengirimkan ucapan rindu dan I love you untuk sang istri yang sedang bertugas di Surabaya.”
Tamat

Cerpen ini saya tulis beberapa tahun lalu. Terinspirasi dari kegemaran saya mendengarkan acara di malam hari yang dibawakan oleh penyiar radio favorit saya Rudi Dahlan di radio Female. 

No comments:

Post a Comment