Monday, May 19, 2014

TRAGEDI TUKANG INTIP



Perkenalkan, namaku Tommy. Umurku 34 tahun. Hobiku mengintip. Ya, mengintip telah menjadi kegemaranku sejak di akhir bangku sekolah dasar. Entah mengapa aku begitu terpikat untuk mengintip di balik pakaian yang dikenakan seorang perempuan. Mungkin disebabkan tubuh perempuan itu berbeda dengan tubuhku sendiri sebagai seorang lelaki. Tubuh perempuan terlihat begitu misterius sekaligus menggoda. Saat aku masih berusia kanak-kanak, teman-temanku perempuan membungkus tubuhnya dengan kaos singlet dan miniset dibalik pakaian luar. Anehnya daerah selangkangan mereka hanya tertutup oleh selapis kancut. Menarik, kan? Jika menurut sabda John Mayer, your body is a wonderland, maka aku mengaminkannya dengan sepenuh hati dan jiwa. Tubuh seorang perempuan itu seakan taman bermain yang selalu memikat mataku untuk mengintip dari balik busana yang dikenakannya.
Ada sebuah ungkapan dari orang-orang tua jaman dahulu. Kalau mata ini bintitan itu karena suka mengintip. Apa aku percaya itu? Tentunya tidak! Entah telah berapa kali aku mengintip, pengalaman mataku terserang bintitan tak lebih dari dua kali sepanjang ku hidup. Aku yakin ungkapan itu hanya untuk menakut-nakuti anak-anak supaya mereka tidak mengintip dari balik rok anak perempuan atau bahkan menyingkapkan rok mereka. Betapa bodoh dan penakutnya anak-anak yang percaya akan hal itu. Dan seringkali mereka justru terserang bintitan setelah mengintip hanya karena sugesti saja. Bah, aku bukan orang yang takut dan kuatir terhadap penyakit seperti mata bintitan.
Seandainya aku memang termakan oleh kepercayaan mata bintitan karena mengintip, mungkin aku tak akan bisa menjadi tukang intip profesional seperti saat ini. Ya, aku berani menyebut diriku pengintip profesional karena aku tidak setengah-setengah melakukan hobiku mengintip. Dan aku tak pernah sekalipun tertangkap basah karena hobiku ini. Ini hobiku, dan aku sangat mencintai melakukannya. Aku tak puas jika hanya melihat tubuh seorang perempuan telanjang begitu saja di depan mataku. Aku lebih suka mengintip karena tubuh seorang perempuan terasa lebih misterius. Aksiku mengintip membuat adrenalin meningkat. Itulah sebabnya aku menjadi kecanduan mengintip.
Mengintip memberikanku pengalaman orgasme yang berbeda. Aku bangga dengan aksi mengintipku. Karena tidak semua lelaki mampu melakukan apa yang kulakukan. Dan tidak semua lelaki mampu melihat apa yang sudah pernah kulihat sepanjang umur hidupku. Jika saja setiap perempuan yang kuintip bisa bunting, maka aku pastilah mampu menciptakan bukan hanya rekor dunia tapi satu suku bangsa sendiri. Semua itu karena sudah tak terhitung lagi berapa banyak jumlah perempuan yang sukses kuintip.
Awalnya aku belajar mengintip dengan menjatuhkan pensil dari meja tulis di dalam kelas. Untuk meraih kembali pensil yang terjatuh, tentu aku harus membungkukkan tubuhku. Saat membungkukkan tubuh itulah aku mencuri kesempatan mengintip dengan sedikit menolehkan pandangan mataku ke arah bangku di belakangku. Di deretan bangku belakang seringkali tanpa sadar anak-anak perempuan itu mengangkangkan kedua kaki lebar hingga terungkaplah apa yang ada di dalam rok mereka. Kondisi itu membuatku leluasa memandangi paha mulus dan celana dalam mereka yang berwarna-warni serta beragam motif. Semakin sering kulakukan aku semakin pandai menyamarkan, mempersingkat waktu sekaligus memperluas jangkauan pandangan mataku. Dalam sekali pindai saja aku mampu mengetahui motif dan warna kancut dari setidaknya selusin anak perempuan di kelasku.
Seiring waktu tentu saja bukan hanya kemampuan tetapi juga teknik mengintipku semakin meningkat dan beragam. Jika teman-temanku lelaki hanya meletakkan rautan bundar yang memiliki cermin pada salah satu sisinya, maka apa yang kulakukan selangkah lebih maju dari yang mereka kerjakan. Aku akan membongkar rautan tersebut supaya aku mendapatkan cermin bundar itu. Lalu aku akan menempelkan potongan cermin bundar yang kuambil dari rautan pensil pada ujung sepatuku. Saat kulangkahkan kaki di belakang mereka, kuarahkan ujung sepatuku ke bawah rok murid perempuan yang ada di depanku. Aksi yang mendebarkan itulah yang membuat mengintip lebih menarik dan menantang.
Saat dewasa aku mulai gemar mengintip di tempat umum, seperti di dalam bus yang selalu kutumpangi setiap kali pergi dan pulang bekerja. Tak ada yang lebih menarik di pagi hari saat berangkat kerja menyaksikan wanita pekerja mengenakan rok mini berdiri atau duduk dengan gelisah karena mengetahui tungkai mulusnya sedang menjadi sasaran pandangan lelaki-lelaki lainnya di dalam bus.
Dulu aku sempat menyesali perawakanku yang tergolong pendek untuk ukuran pria pada umumnya. Karena perawakanku yang pendek ini aku pernah beberapa kali ditolak sejumlah gadis cantik yang kusukai. Bukan kebetulan kalau gadis-gadis itu memiliki perawakan yang lebih tinggi dariku saat di bangku SMA dulu. Tapi aku berhasil membalaskan sakit hatiku dengan mengkonfirmasi warna dan motif celana dalam yang sedang dikenakan mereka setiap hari berturut-turut selama seminggu. Mereka tentulah merasa malu dan kesal. Beberapa dari mereka berusaha melaporkanku ke wali kelasnya. Tapi karena tidak ada satupun bukti, aku lolos dari hukuman.
Sekarang aku justru bersyukur dengan ukuran tubuhku yang mungil ini. Di dalam bus aku dengan leluasa mengintip buah dada terbungkus kutang menawan dari sela-sela kancing kemeja yang terpampang tepat di depan wajahku. Saat bis berguncang, seringkali wajahku terbanting pada payudara mereka. Saat kejadian mereka tampak malu karena seringkali hantaman buah dada mereka sempat membekap hidungku. Tapi aku justru menikmatinya. Saat mereka minta maaf aku hanya mesam mesem mesum. Aku yakin 100% kalau ide bantalan udara kembar pada mobil itu diperoleh dari kondisi yang kualami oleh seorang berperawakan pendek seperti diriku.
Bis bukan hanya satu-satunya lokasi sasaranku mengintip. Aku pernah mengintip di toilet umum. Tentu saja menggunakan kaca rautan andalanku yang selalu siap sedia di dalam dompetku. Seringkali aku mengintip melalui lubang ventilasi. Aku sanggup berdiam diri lama menanti korbanku. Semua itu kulakukan supaya diriku tak tertangkap basah sedang mengintip. Kadangkala aku memberikan tip cukup besar kepada para penjaga sehingga mereka percaya dan mengira kalau diriku adalah lelaki terhormat. Aku juga pernah mengintip di kamar ganti pakaian di sejumlah pusat perbelanjaan. Tentu di lokasi semacam itu aku tak dapat menggunakan cermin rautan lagi.
Ya, teknologi yang kugunakan untuk mengintip tak hanya.teknologi primitif seperti cermin rautan. Seiring dengan perkembangan teknologi aku memperlengkapi hobiku dengan perlengkapan berupa gadget paling mutakhir. Mulai dari yang sederhana seperti ponsel berkamera, kamera berukuran super kecil, binokular hingga bolpen berkamera. Sebut saja aku pasti memilikinya. Lengkap dan bukan hanya satu tapi dua buah dari setiap jenisnya. Kenapa dua? Karena jika yang satu rusak, aku masih memiliki cadangan. Sekarang tentu kalian mengerti mengapa aku menyebut diriku pengintip profesional.
Seringkali aku mengarahkan kamera ponsel ke bawah rok mini mereka yang kebetulan berdiri di depanku. Di dalam bus saat jam sibuk, pemandangan penumpang yang berdiri berdesak-desakan merupakan kesempatan emas untuk mengintip di balik rok mini para wanita karir itu. Satu waktu kudapati seorang wanita ternyata tak mengenakan kutang dibalik blouse yang dikenakannya. Aku menyadarinya saat kuintip dari sela-sela kancing bajunya. Pantas saja buah dadanya yang berukuran besar berguncang-guncang sedemikian rupa setiap kali bus berhenti. Aku berhasil mengabadikan salah satu buah dadanya dengan berpura-pura menelepon. Lain waktu pernah kudapati sekali seorang gadis ternyata tak mengenakan kancut, hingga terungkaplah pemandangan menggiurkan itu.
Saat itu dalam hatiku aku langsung bersorak haleluya! Rupanya fenomena gadis-gadis harajuku itu telah mampir juga di Jakarta. Aku mengetahui fenomena ini dari sebuah majalah fesyen dan film Babel yang kutonton. Aku berdoa semoga fenomena ini semakin fashionable di kalangan gadis-gadis Jakarta.
Dan doaku terjawab. Meski aku tak yakin kalau Tuhan akan menjawab doa orang seperti diriku. Tapi bisa jadi Tuhan sedang bermain-main denganku.
Siang itu dalam salah satu bus Transjakarta dari arah Kota aku sedang menuju ke Blok M. Di halte Monas masuklah seorang gadis tinggi semampai. Tubuhnya indah dengan lekuk yang sempurna. Langkah kakinya begitu percaya diri, layaknya seorang model yang sedang berjalan melenggang di atas catwalk. Saat itu bus sedang dalam keadaan sepi penumpang. Gadis itu menghempaskan tubuhnya di bangku persis di seberang bangku yang kutempati. Gadis itu memiliki kulit kuning langsat mulus. Rambut berona pirang kecoklatan menambah kesan kecantikan eksotik pada raut mukanya yang terlihat sangat Indonesia. Gadis itu mengenakan rok mini. Ia kemudian duduk bersilang kaki. Tungkainya terlihat begitu sempurna bagai model iklan stoking di majalah.
Kamipun bertemu pandang. Tatapan matanya begitu menantang. Aku tersipu malu-malu kuda. Tapi kupandangi juga tungkai jenjangnya itu. Kuangkat pandangan mataku. Sembari memandang wajahku, gadis itu mulai menjilat dan menggigit bibirnya. Jantungku makin berdebar kencang. Ia meluruskan kakinya, kemudian perlahan merenggangkan kedua lutut kakinya. Rok yang dikenakannya mulai tersingkap. Adrenalinku mulai memuncak. Tanpa sadar keringat dingin mulai membasahi keningku.
Sesaat tampaklah bagian dalam roknya, aku segera mengangkat wajahku. Gadis itu tersenyum licik dan sinis kepadaku. Sementara aku hanya sanggup tersenyum kecut. Aku segera mengalihkan pandanganku dari wajahnya.
Sialan! Ternyata gadis itu memiliki buah zakar.
* * *


Cerpen ini salah satu cerpen lama yang berusaha saya dokumentasi ulang semenjak komputer terkena bocoran air. Diposting ulang disini sebagai upaya dokumentasi dari sekian cerpen yang pernah saya tulis dan berhasil saya selamatkan dari sela-sela dokumentasi surel yang pernah terkirim dari salah satu akun lama saya.


No comments:

Post a Comment