Melihat persaingan pencakar langit di berbagai negara di dunia rasanya memang menakjubkan sekaligus membuat terengah-engah. Di satu sisi memang menakjubkan dengan berbagai kecanggihan teknologi dalam dunia sipil arsitektur, konstruksi dan teknik bangunan saat ini. Untuk membangun Burj Dubai tentunya tidak mungkin lagi menggunakan teknik-teknik lama. Untuk membawa cairan beton ke ketinggian sekian ratus meter dari tanah tentu membutuhkan teknik dan penelitian lebih lanjut supaya saat saat tiba di lantai yang dimaksud beton tidak sampai mengering. Itu baru dari soal adukan beton. Belum masalah kontruksi yang harus menahan angin gurun serta kondisi cuaca yang drastis perbedaannya antara siang dan malam hari.
Pernahkan Anda membayangkan bagaimana cepatnya lift yang akan digunakan nanti di Burj Dubai? Untuk mencapai ketinggian tertentu di Burj Dubai tentu tidak mungkin menggunakan lift-lift seperti yang ada di gedung-gedung perkantoran atau apartemen di Jakarta saat ini. Tentu akan menyita banyak waktu jika kita hendak menuju lantai-lantai di tempat yang tinggi.
Membangun gedung-gedung pencakar langit yang tinggi tentu membutuhkan bukan hanya dana besar tapi juga teknologi tinggi untuk membangunnya. Dan yang paling penting adalah segi keamanan dan keselamatan.
Yah yang namanya gempa, kebakaran atau serangan terorisme siapa sih yang bisa meramalkan? Memang untuk kebakaran, sudah ada sistem antisipasinya. Mulai dari smoke detector, yang bekerja dengan mendeteksi asap. Sprinkler yang menyemprotkan air setelah mendeteksi suhu ruangan yang naik akibat kebakaran. Dan alarm yang memberikan peringatan berdasarkan deteksi asap dan sprinkler. Sementara untuk jalan keluar ada tangga darurat.
Cuma yang jadi masalah kan mau seberapa ampuh semua itu kalau kita berada di ketinggian yang nun jauh di atas sana rasanya percuma saja jika kejadian macam World Trade Centre di New York terjadi. Kalau kebakaran berada di lantai 30 sementara kita berada di lantai 50? Apa yang bisa kita lakukan? Mau meloncat? Apa helicopter bisa menyelamatkan? Apa tangga darurat tetap tahan api? Apa tangga mobil pemadam bisa mencapai kita?
Ya mungkin memang waktunya untuk kita mati dengan cara seperti itu. Tapi apa iya kita mau mati seperti itu. Lebih tepatnya apa iya bangunan tempat kita bekerja memang dirancang supaya kita mati seperti itu?
Ya memang sih di perkotaan lahan semakin sempit dan mahal. Tapi apa memang tidak ada cara lain? Apa memang harus membangun sebegitu grande-nya?
Kadang pemikiran saya desain dan arsitektur dibuat untuk hidup lebih jumawa ketimbang hidup lebih berkualitas. Seakan-akan lebih tinggi, lebih besar, lebih indah lantas semua persoalan hidup selesai. Setahu saya semua persoalan hidup selesai saat kita meninggal.
Setiap kali selesai pembangunan sebuah pencakar langit dengan rekor baru, umumnya selalu diikuti oleh krisis moneter. World Trade Centre menandai krisis yang melanda Amerika pada akhir tahun 1970an. Petronas menandai krisis moneter Asia pertengahan akhir 90an. Dan sekarang Burj Dubai ternyata menandai krisis hutang akibat hutang yang terlampau besar akibat mengejar kemewahan berkelebihan.
wah bener sekali pak, persoalan hidup selesai ketika kita meninggal.
ReplyDeleteplus, soal gedung tinggi, setelah mengalami anjlok sekitar 2 lantai di lift aston, saya sama sekali tidak tertarik untuk tinggal di apartment atau gedung tinggi lainnya. NGERI. ga ada tanahnya pula ^^
itu salah satu alasan knapa aku ga suka tinggal di kota besar, Tim. Kaya misal new york yah, saking padatnya kota itu dengan gedung2 tinggi, sampe kalo jalan mataharinya ga nembus! kehalang bangunan-bangunan itu.
ReplyDelete@Arema: memang lama2 menyeramkan
ReplyDelete@Mbak Novie: iya itu juga yg ada di pikiranku Mbak kalo nonton film2 berlokasi di New York berasanya kok gersang amat gak ada pohon beton semua, sementara di Jakarta kan masih ada tanaman2 di pelataran bawah. Gak dapat sinar matahari karena bayangan dari gedung2 yang tinggi, duh aku ngebayanginnya malah jadi stress sendiri kalo mesti tinggal di sana