Sunday, October 4, 2009

PASSION FOR BATIK

Maaf juga kalo saya terkesan sinis atas euphoria batik ini, bukan saya tidak menghargai upaya pemerintah.

Sebenarnya saya masih tidak/belum/kurang yakin penghargaan dari UNESCO itu atas usaha pemerintah.

Bukan mau show off, saya pakai batik dan punya koleksi kain batik sedikit lebih banyak dan lebih lama dari yg sebagian besar orang kira. Bahkan beberapa koleksi kain batik saya diminta ibu dan adik saya untuk mereka jadikan baju. Ada juga yg diminta saudara yang lain. Oh ya bukan cuma batik sih tapi ada kain tenun juga saya punya. Ada yg dari ibu saya seperti sutra asal Makasar.

Saya bahkan pernah mencoba membatik sejak SMA tahun 1995. Saya beli lilin malamnya, juga beli cantingnya serta kain blacu sebagai bahan eksperimen. Saya coba kerjakan di rumah. Ibu saya saksinya.

Saya pergi ke Gelar Batik Nusantara pada saat pertama kali digelar tahun 1996. Saya coba curi2 baca buku batik Iwan Tirta di Kinokuniya.

Dan saya merasa lebih yakin kalo penghargaan UNESCO itu lebih karena usaha lobby Ibu-Ibu yang tergabung di Wastaprema ketimbang Pemerintah. Beneran lho! Meski pada Kompas hari Minggu, 4 Oktober 2009 ini, Ketua Wastaprema, Ny. Adiati Arifin Siregar, mengakui perjuangan berbagai pihak seperti KADIN Indonesia, komunitas2 batik termasuk Pemerintah dalam perjuangan mengukuhkan Batik Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia.

Kalau Anda tidak tahu tahu Wastaprema itu apa, coba cek di sini

Well, Wastaprema itu himpunan pecinta kain adati Indonesia. Anggotanya bukan cuma ibu2 aja, tapi ibu2 pejabat, ibu2 mantan pejabat, desainer, kalau tidak salah ada juga expatriat yang adalah kolektor kain asal Nusantara. Jadi gak heran kalo mereka lebih luwes melobi UNESCO ketimbang pemerintah. Yah meskipun pasti ada upaya pemerintah di dalamnya, tapi tetap saja rasanya ada yg janggal.

Jadi kalau saya menganggap remeh euphoria orang2 Indonesia soal batik ya karena saya melihat sendiri status seperti ini di fesbuk

"klo seandainya Hari Batik Nasional (2 Oktober) tidak jatuh pada hari jumat, mungkin gw gak akan pake batik. hari ini gw pake batik karena tiap jumatnya emang biasa pake batik. how bout u?"

Jadi ya saya rasa sebagian besar memang tidak cinta-cinta amat sama batik. Cuma perayaan sesaat. Cuma ingin meramaikan saja.

Coba saja lihat di televisi. News Anchor di TV baju2nya? Kalo bukan saat perayaan Hari Kartini, Hari Kemerdekaan atau pas Lebaran dan Natal atau perayaan2 keagamaan mana ada yang mengenakan batik? Kalau yang di televisi saja sehari-hari gak bisa terlihat mengenakan batik gimana mereka yg tidak terpampang di televisi?

Ada yg tahu kalo motif batik kawung itu agak mirip dengan logo Louis Vuitton? Ada yang tahu kalo motif batik kawung itu dipakai oleh desainer Jaya Ibrahim untuk panel penyekat di hotel Darmawangsa? Ada yang tahu nggak kalo teknik batik itu bisa diterapkan pada kayu?

Jadi kalau Bpk. Fauzi Bowo berkoar-koar soal pakai batik pada tanggal 2 kemarin, sebenarnya almarhum Ali Sadikin sudah sejak tahun 70-an menghimbau seluruh jajaran Pemda DKI untuk mengenakan batik demi membantu kelangsungan hidup perajin batik yang waktu itu mulai ngos-ngosan digempur produk garmen.

Yah sebenarnya saya tidak bisa memaksakan orang-orang untuk cinta batik. Tapi ya kalo tidak cinta ya nggak usah ikut-ikutan sok suka/perhatian pada batik.

Kemarin itu rasanya euphoria batik sih menurut saya secara pribadi a lil bit overated. Ya bagus memang sih. Secara UNESCO mengukuhkan batik asal Indonesia sebagai warisan kekayaan dunia.

Cuma rasanya euphoria ini berlebihan mengingat sebagian besar kita baru heboh setelah batik diklaim sebagai warisan budaya Malaysia. Tapi coba pakai batik sehari-hari. Ehm mungkin sebagian besar akan keberatan. Masih ingat jaman kuliah dulu saya pakai batik lengan pendek dan sukses disindir bagaikan pak lurah, pak camat, dsb. Saya tidak tahu apa salahnya menjadi pak lurah dan pak camat. Notabene saya kuliah di fakultas desain lho, seharusnya mahasiswa2nya kan lebih open minded ya? Tapi ya begitulah kondisi di kaum muda waktu itu. Batik termarjinalkan sebelum Edward Hutabarat sukses mengangkat pamor batik kembali menjadi lebih muda dan kontemporer.

Beberapa waktu lalu ada seruan 'malu berbatik cap atau printing' di kompas.com dan account batik Indonesia di fesbuk. Seruan itu langsung menuai kritikan pedas.

Dengan alasan gak mampu. Puhlease deh ya, orang Indonesia itu gonti-ganti handphone, iphone, blackberry mahal bisa, tapi beli batik tulis yang bisa menghidupi pembatik dan keluarganya sekian bulan tiba-tiba merasa paling miskin sedunia.

Memang batik tulis itu mahal, malaikat juga tahu itu. Tapi tahu nggak sih berapa lama bikin batik tulis itu? Lama tahu, bisa 3 bulan baru selesai. Bagus mana sama batik cap? Ya batik tulis jauh lebih bagus dong.

Tidak perlulah memaksakan membeli yang baju jadi atau kain kan? Kalau memang tidak terjangkau dengan kantong, bisa membeli scarf atau dasi batik tulis aja dulu.

Kalau beli batik jangan dilihat cuma bagus atau dipake ke mana.

Jangan lihat fungsinya nggak kayak Blakcberry, Iphone, Ipod. Ada nilai filosofis dalam setiap motifnya, ada sejarah pembuatannya, ada sentuhan personalnya di tengah gempuran produk massal. Ada nilai sosial dan pelestarian budayanya.

Jangan disamakan dengan produk konveksi biasa. Beda kelas.

Yah saya cuma berharap ini bukan euphoria sesaat aja.

No comments:

Post a Comment